Seorang sahabat yakin betul bahwa dia bisa mendapatkan yang diinginkannya, bahkan menentukan nasib orang sesuai yang diinginkannya. Dia sangat percaya, tidak akan ada yang bisa menahan keberhasilan apabila telah berusaha keras. Baginya, sukses seseorang seperti menyusun bata demi bata; semakin kuat berusaha maka semakin tinggi bata yang disusun, semakin tinggi pula bangunan yang diinginkan.
Sahabat itu memang selalu mendapatkan yang dia inginkannya. Tapi, tak jarang pula dia gagal. Tentu itu alamiah. Yang menjadi soal adalah, ketika gagal --meski menurutnya telah berusaha keras-- dia menyalahkan orang lain. Dia menganggap kegagalan itu karena dijegal orang yang dengki, yang tak ingin melihatnya sukses.
Saya katakan kepadanya, ''Jika Anda jatuh karena tersandung sebatang kayu, jangan cari siapa yang meletakkan kayu di jalan yang Anda lalui. Boleh jadi Anda tidak hati-hati, tidak melihat kayu itu, dan jatuh.''
Ini cerita sahabat yang lain. Pembantunya, Ahmad, tidak tamat sekolah dasar. Setiap hari, Ahmad mencuci mobilnya dan sesekali memajukan dan memundurkan mobil itu. Setelah bekerja cukup lama, Ahmad berhenti. Sembilan tahun kemudian sahabat itu bertemu lagi dengan Ahmad. Dia sangat kaget, Ahmad telah memiliki dua truk dan toko emas di kampungnya.
Dalam sembilan tahun Ahmad begitu maju pesat, sedangkan sahabat itu merasa seperti jalan di tempat. Bahkan, sahabat tersebut membandingkan pula dengan saudaranya, sarjana manajemen lulusan luar negeri, pintar dan sangat ahli manajemen, namun usahanya selalu gagal. Sebaliknya Ahmad, mungkin tidak paham teori manajemen, tak pernah membaca buku, apalagi mengenal pemikiran Robert T Kiyosaki.
Dua kisah itu menjelaskan bahwa manusia bukanlah penentu. Dua sahabat saya tadi dan juga saudaranya yang ahli manajemen, tentu telah bekerja dengan sangat keras, mencari segala jalan untuk meraih target dan cita-citanya. Selain usaha keras, mungkin pula mereka tak henti-hentinya berdoa. Ahmad --yang awalnya pembantu kini sukses secara materi-- tentu juga mendapatkan hasil atas kerja keras dan mungkin juga terus berdoa.
Alkisah, ada cerita tentang seorang raja yang merasa bisa menentukan kehidupan seseorang. Dia dapat menjadikan seseorang kaya raya, dan seseorang kaya menjadi miskin. Dengan kekuasaannya, dia memfitnah seorang sudagar kaya melakukan penyelewengan. Harta si saudagar dirampas untuk negara sehingga jatuh miskin. Namun dengan sedikit sisa uangnya, saudagar yang juga diusir itu membuat warung di pinggir kampung.
Sebaliknya, Raja memasukkan sebongkah emas ke dalam semangka seorang pedagang miskin secara diam-diam. Dia berharap, emas itu ditemukan si miskin dan kemudian menjualnya. Raja ingin membuktikan, dia bisa menciptakan si miskin menjadi kaya raya. Namun, yang terjadi kemudian, karena tidak memiliki uang untuk makan, si miskin memberikan semangka itu kepada pemilik warung, yang tak lain adalah saudagar tadi.
Begitu terjadi berhari-hari. Raja tetap memasukkan emas ke dalam semangka si miskin, dan si miskin tetap memberikan semangka itu pada si saudagar. Maka, si miskin tetap miskin, si saudagar yang dimiskinkan, kembali menjadi kaya.
Setiap orang memang harus bekerja keras, punya perencanaan untuk mencapai target yang dikehendaki. Tapi, siapa yang dapat menentukan apa yang terjadi hari esok, siapa yang menentukan arah angin bertiup, siapa yang dapat memastikan benih yang ditanam menghasilkan buah? Tidak ada, kecuali Allah SWT. Dialah yang memutuskannya, bukan manusia.
Kehendak Allah SWT berlaku untuk semuanya, tanpa ada pengecualian. Jadi, mengapa kita merasa dapat menentukan segalanya dan menyalahkan orang lain ketika gagal?
Oleh Asro Kamal Rokan (Republika)
30 November 2006
10 November 2006
Kesempatan kedua
Hal yang paling ditakuti oleh semua pengusaha adalah jatuh bangkrut. Biasanya semua harta ludes, habis total. Perasaan dalam dada juga campur aduk. Ada perasaan gagal total, depresi, bercampur dengan sejumlah perasaan lainnya, mulai malu hingga tidak berdaya. Tapi tantangan yang paling penting adalah bisa bangkit kembali. Ini yang paling sulit. Berkali-kali saya bertemu dengan pengusaha yang pernah bangkrut, kebanyakan dari mereka tidak berhasil mengatasi depresi dan perasaan takut untuk bangkit kembali. Umumnya mereka jadi menjauhi bisnis. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa jatuh bangkrut mirip dengan keseduh minyak panas. Sehingga mereka takut menyentuh minyak panas.
Jarang di dalam bisnis, kita melihat pengusaha tahan banting, yang bisa bangkit dari kebangkrutan. Saya bertemu seorang pengusaha Indonesia di Philadelphia, belum lama ini. Sebut saja namanya Om Yan. Dia bukan berasal dari keluarga kaya. Di akhir 1980-an, Om Yan mendirikan perusahaan kecil-kecilan. Berkat kerja keras, sekitar tahun 1994, perusahaannya berkembang cepat. Sayang, Om Yan terlalu ambisius. Tahun 1997, ketika terjadi krisis ekonomi, bisnisnya bangkrut total. Akibat terlalu banyak utang, Om Yan patah hati dan ingin mengubah nasib di Amerika. Ia ikut adiknya di Philadelphia. Mulai dari bawah, ia berusaha kerja apa saja.
Menurut cerita Om Yan, ia percaya pada kesempatan kedua. Katanya, setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua. Ini alasan kenapa ia minggat ke Amerika. Di Philadelphia, ia bekerja sebagai sopir pengganti taksi dari kenalan adiknya. Kadang ia juga bekerja serabutan, jadi pelayan restoran dan pembersih kantor.
Lalu tiba-tiba datang kesempatan kedua itu. Ketika sedang menjadi sopir taksi, ia mendapat tamu seorang pengusaha Indonesia. Mereka lalu bersahabat, dan setiap kali pengusaha itu ke Philadelphia, ia selalu memesan taksi Om Yan untuk mengantarnya ke sana kemari. Untunglah, suatu hari bisnis sang pengusaha Indonesia meledak. Dan ia butuh orang yang bisa mewakili dirinya di Philadelphia, karena ia tidak bisa selalu datang ke Philadelphia. Maka, Om Yan beruntung diberi kepercayaan itu.
Dalam tiga tahun, bisnis mereka berkembang. Peran Om Yan makin besar, dan ia mulai bisa bangkit lagi. Ketika bercerita kepada saya, Om Yan sempat terharu. Katanya, hal yang membuat ia sedih, kesempatan keduanya tidak datang dari orang-orang terdekat. Tetapi justru dari orang jauh. Om Yan menasihati saya agar selalu hidup jujur, karena hanya dengan kejujuran itulah kita bisa menyentuh hati orang lain. Kejujuran mirip sebuah kunci yang membuka peluang. Kata Om Yan, "Orang boleh bangkrut dan miskin harta. Tapi jangan sekali-kali kita miskin kejujuran." Saya tersentuh.
Saya jadi teringat pada Slamet, bekas pembantu rumah tangga Mpu Peniti. Konon, Slamet telah mengabdi pada Mpu Peniti lebih dari 10 tahun. Suatu hari, ia permisi ingin balik kampung dan membuka bengkel dengan uang tabungannya. Setahun kemudian, Slamet kembali dan bercerita bahwa bisnis bengkelnya bangkrut. Ia mau kembali bekerja dengan Mpu Peniti. Tetapi oleh Mpu Peniti, Slamet dilarang bekerja. Malah ia dikasih modal untuk bisnis baru.
Slamet lalu membuka warung. Hampir dua tahun kemudian, Slamet kembali lagi dengan cerita yang sama. Ia korban gempa bumi di Yogyakarta. Bisnisnya bangkrut lagi. Duh, nasib Slamet memang apes total. Ketika ia kembali lagi bertemu dengan Mpu Peniti, lagi-lagi Slamet dilarang bekerja. Slamet kembali diberi modal tambahan. Dan Slamet kembali lagi berbisnis.
Melihat itu, mulanya saya protes, karena Slamet akan terus-menerus bergantung pada Mpu Peniti. Ini bukan pelajaran yang baik. Mpu Peniti cuma senyum-senyum. Kata beliau, "Kasihan Slamet, di matanya ada kejujuran dan kegigihan untuk mengubah nasibnya sendiri. Sayang sekali kalau semangat itu mati, dan Slamet menganggap takdirnya memang menjadi pembantu seumur hidup." Saya tersentuh. Barangkali, di saat Lebaran nanti, mari kita periksa dengan teliti orang-orang di sekeliling kita yang bukan saja perlu maaf, melainkan juga kesempatan kedua. Berikanlah kesempatan kedua itu kepada mereka, karena itu bisa menjadi penyulut semangat hidup mereka.
Kafi Kurnia
Jarang di dalam bisnis, kita melihat pengusaha tahan banting, yang bisa bangkit dari kebangkrutan. Saya bertemu seorang pengusaha Indonesia di Philadelphia, belum lama ini. Sebut saja namanya Om Yan. Dia bukan berasal dari keluarga kaya. Di akhir 1980-an, Om Yan mendirikan perusahaan kecil-kecilan. Berkat kerja keras, sekitar tahun 1994, perusahaannya berkembang cepat. Sayang, Om Yan terlalu ambisius. Tahun 1997, ketika terjadi krisis ekonomi, bisnisnya bangkrut total. Akibat terlalu banyak utang, Om Yan patah hati dan ingin mengubah nasib di Amerika. Ia ikut adiknya di Philadelphia. Mulai dari bawah, ia berusaha kerja apa saja.
Menurut cerita Om Yan, ia percaya pada kesempatan kedua. Katanya, setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua. Ini alasan kenapa ia minggat ke Amerika. Di Philadelphia, ia bekerja sebagai sopir pengganti taksi dari kenalan adiknya. Kadang ia juga bekerja serabutan, jadi pelayan restoran dan pembersih kantor.
Lalu tiba-tiba datang kesempatan kedua itu. Ketika sedang menjadi sopir taksi, ia mendapat tamu seorang pengusaha Indonesia. Mereka lalu bersahabat, dan setiap kali pengusaha itu ke Philadelphia, ia selalu memesan taksi Om Yan untuk mengantarnya ke sana kemari. Untunglah, suatu hari bisnis sang pengusaha Indonesia meledak. Dan ia butuh orang yang bisa mewakili dirinya di Philadelphia, karena ia tidak bisa selalu datang ke Philadelphia. Maka, Om Yan beruntung diberi kepercayaan itu.
Dalam tiga tahun, bisnis mereka berkembang. Peran Om Yan makin besar, dan ia mulai bisa bangkit lagi. Ketika bercerita kepada saya, Om Yan sempat terharu. Katanya, hal yang membuat ia sedih, kesempatan keduanya tidak datang dari orang-orang terdekat. Tetapi justru dari orang jauh. Om Yan menasihati saya agar selalu hidup jujur, karena hanya dengan kejujuran itulah kita bisa menyentuh hati orang lain. Kejujuran mirip sebuah kunci yang membuka peluang. Kata Om Yan, "Orang boleh bangkrut dan miskin harta. Tapi jangan sekali-kali kita miskin kejujuran." Saya tersentuh.
Saya jadi teringat pada Slamet, bekas pembantu rumah tangga Mpu Peniti. Konon, Slamet telah mengabdi pada Mpu Peniti lebih dari 10 tahun. Suatu hari, ia permisi ingin balik kampung dan membuka bengkel dengan uang tabungannya. Setahun kemudian, Slamet kembali dan bercerita bahwa bisnis bengkelnya bangkrut. Ia mau kembali bekerja dengan Mpu Peniti. Tetapi oleh Mpu Peniti, Slamet dilarang bekerja. Malah ia dikasih modal untuk bisnis baru.
Slamet lalu membuka warung. Hampir dua tahun kemudian, Slamet kembali lagi dengan cerita yang sama. Ia korban gempa bumi di Yogyakarta. Bisnisnya bangkrut lagi. Duh, nasib Slamet memang apes total. Ketika ia kembali lagi bertemu dengan Mpu Peniti, lagi-lagi Slamet dilarang bekerja. Slamet kembali diberi modal tambahan. Dan Slamet kembali lagi berbisnis.
Melihat itu, mulanya saya protes, karena Slamet akan terus-menerus bergantung pada Mpu Peniti. Ini bukan pelajaran yang baik. Mpu Peniti cuma senyum-senyum. Kata beliau, "Kasihan Slamet, di matanya ada kejujuran dan kegigihan untuk mengubah nasibnya sendiri. Sayang sekali kalau semangat itu mati, dan Slamet menganggap takdirnya memang menjadi pembantu seumur hidup." Saya tersentuh. Barangkali, di saat Lebaran nanti, mari kita periksa dengan teliti orang-orang di sekeliling kita yang bukan saja perlu maaf, melainkan juga kesempatan kedua. Berikanlah kesempatan kedua itu kepada mereka, karena itu bisa menjadi penyulut semangat hidup mereka.
Kafi Kurnia
My First Son
Alhamdulillah....
Menjelang lebaran tahun ini kami diberi karunia dan amanah yg telah lama dinantikan. Pada tanggal 20 Oktober 2006 (27 Ramadhan 1427) putra pertama kami telah lahir, yaitu tepat jam 04.10 pagi, dengan berat 3,4 kg dan panjang 50 cm.
Naufal Hafidz Ramdhani, itulah nama yg kami berikan untuknya. Dengan harapan ia dapat menjadi seorang laki-laki shaleh yg dermawan, dan dapat menjadi penjaga dan pelindung bagi keluarga, bangsa, dan agamanya....

Menjelang lebaran tahun ini kami diberi karunia dan amanah yg telah lama dinantikan. Pada tanggal 20 Oktober 2006 (27 Ramadhan 1427) putra pertama kami telah lahir, yaitu tepat jam 04.10 pagi, dengan berat 3,4 kg dan panjang 50 cm.
Naufal Hafidz Ramdhani, itulah nama yg kami berikan untuknya. Dengan harapan ia dapat menjadi seorang laki-laki shaleh yg dermawan, dan dapat menjadi penjaga dan pelindung bagi keluarga, bangsa, dan agamanya....


09 August 2006
Kacamata Bocah
Jangan mengecilkan pemikiran bocah! Itulah yang terpetik di Hari Anak Indonesia, 23 Juli lalu. Di dalam diri mereka sering terkandung kejernihan mutiara berpikir. Banyak hal yang mereka tanyakan dengan kritis dan tidak mampu kita jawab. Padahal, kita telah mengklaim sebagai orangtua yang makan asam-garam kehidupan.
Jujur saja, mulut ini sering mengajari mereka agar jangan berbohong, berdusta, menipu, curang, dan kurang ajar. Tuhan ada di mana-mana. Anak pun diam, mungkin memikirkan makna "Tuhan ada di mana-mana". Saat kita ajak salat berjamaah dan wajib ke arah kiblat di barat, misalnya, si anak nyeletuk: "Katanya Tuhan ada di mana-mana."
Kita pun gelagapan. Bisa-bisa kebohongan demi kebohongan meluncur dari mulut, lantaran kita tak mampu menjelaskan dengan pas. Persis elite kini: suka membesar-besarkan atau mengecilkan data agar tampak dramatik. Juga menyembunyikannya. Jika dikejar dengan pertanyaan lebih tajam, umpamanya, buru-buru menangkis: "Ndak tahu, ya. Kami tidak pegang datanya."
Tapi, begitu insan pers menyodorkan fotokopi data ketidakberesan di instansi dia, jawabannya membabi buta. Tersinggung. "Siapa yang membocorkan itu. Lihat saja nanti. Pasti akan kami tindak," katanya. Lho, kenapa tidak berterima kasih bahwa kebusukan itu bisa diungkapkan?
Dulu, pemikiran dia dianggap brilyan. Banyak orang manggut-manggut lantaran terbuai dan salut pada idealisme yang diusung. Kebajikan seakan dipegang erat. Namun, pada akhirnya, kursi jabatan mengerosi jua. Atau, bisa jadi, perubahan sikap itu muncul lantaran setia pada korps.
Kesetiaan itu, konon, sudah jadi barang langka di republik ini. Orang setia itu selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban, dan tidak suka berkhianat. Tapi, kesetiaan kan tidak untuk dibabibutakan? Bisa menimbulkan sikap superior yang berbuntut tak sudi diajak berdialog.
Itu pula, antara lain, yang membuat mulut bereaksi cepat. Orang sering berpikir menghemat uang, tapi tidak menghemat kata-kata. Persis orangtua yang takut wibawanya luntur kala menghadapi anak. Nada suara pun ditinggikan. Padahal, setiap gerakan, isyarat, bentuk, suara, perkataan, suasana, semua mencerminkan ekspresi sifat dan karakter seseorang.
Jadi, kenapa pula nasihat harus disampaikan dengan nada tinggi dan bikin mengkeret hati? Anak-anak sering curhat: "Kritik kan bisa diomongin dengan rileks. Kayak orang ngobrol. Kan, lebih friendly." Ucapan: "Jalanilah hidup tanpa berkeluh kesah," tentu bermakna lain ketimbang: "Kamu tak boleh berkeluh kesah!"
Maka, biar orangtua tidak emosional, banyak anak memilih mengatupkan bibir. Diam merupakan perjuangan melawan diri sendiri untuk mengendalikan rangsangan agar menjadi kekuatan. Konon, Tuhan memberi "diam" agar kata-kata digunakan secara bijak. Dan, Tuhan memberikan "amarah" untuk menunjukkan makna kedamaian. Jika seseorang mampu menyesuaikan diri dengan hidup, maka hidup akan terasa lebih bersahabat.
Adalah sebuah e-mail mengisahkan sebuah keluarga. Rumah mereka ditinggali suami-istri, anak tunggal mereka berusia enam tahun, dan kakeknya. Kakek itu uzur dan pikun. Tangan dia suka gemetaran. Mata rabun. Saban kali makan bersama, sendok dan garpu yang dipegang kakek itu kerap jatuh. Entah berapa piring dan gelas yang pecah. Taplak meja pun kotor ketumpahan air.
"Kita harus melakukan sesuatu," ujar si suami. Maka, suami-istri itu sepakat membuatkan meja makan kecil khusus untuk si kakek. Mangkuk pun terbuat dari kayu. Kali ini, tiada suara piring pecah. Yang tampak adalah air mata yang mengalir dari gurat keriput si kakek di sudut meja makan kecil tersebut. Dan, bocah enam tahun itu cuma bisa memandang dalam diam.
Suatu malam, sebelum tidur, si anak memainkan mainan dari kayu. "Kamu sedang membuat apa," tanya ayahnya. "Aku sedang membuat meja kayu buat Ayah dan Ibu untuk makan saat aku besar nanti. Nanti akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat Kakek biasa makan," ujar si anak. Jawaban itu kontan memukul kedua orangtuanya. Mereka tak mampu berkata-kata lagi, kecuali meneteskan air mata.
Kesadaran mereka muncul oleh sentilan si kecil. Kesadaran adalah kecerdasan murni yang diperkaya dengan gagasan. Melalui kesadaran, kita jatuh atau bangun. Melalui kesadaran, kita menyempit atau meluas. Ekspansi kesadaran adalah terbukanya jiwa. Sejak itu, timbul suatu gagasan untuk memperbaiki kualitas hidup keluarga mereka.
Mereka sadar bahwa alam itu lahirnya adalah tipuan dan "batinnya" adalah pelajaran. Ternyata, naluri dapat membimbing lebih baik daripada guru atau buku. Esoknya, keluarga itu kembali makan di meja makan bersama, tanpa omelan kala piring terjatuh atau taplak meja ternoda tumpahan kuah sayur.
Toleransi itu muncul lantaran kerendahan hati. Sebaliknya, jiwa paling tidak toleran adalah jiwa yang paling tidak bahagia di dunia. Buntutnya, segala sesuatu menyakitkan. Mereka tak nyaman karena cenderung tidak menyukai, menolak, atau curiga pada banyak hal. Kecenderungan inilah yang perlu dikalahkan agar mampu keluar dari kebingungan dan kegelapan.
Agaknya, benar kata orang bijak, manusia itu sesungguhnya gurunya sendiri: di dalam diri mereka terdapat rahasia keberadaannya. "Tiada kebenaran yang dapat dipelajari dari buku, tiada kebenaran yang dapat dijelaskan dengan bahasa, tiada kebenaran yang dapat ditunjuk dengan jari," tulis Hazrat Inayat Khan, seorang sufi dari India.
Pelajaran hidup kali ini memang muncul dari seorang anak. Makanya, jangan pernah mengecilkan "kacamata" bocah!
Widi Yarmanto
widi@gatra.com
Jujur saja, mulut ini sering mengajari mereka agar jangan berbohong, berdusta, menipu, curang, dan kurang ajar. Tuhan ada di mana-mana. Anak pun diam, mungkin memikirkan makna "Tuhan ada di mana-mana". Saat kita ajak salat berjamaah dan wajib ke arah kiblat di barat, misalnya, si anak nyeletuk: "Katanya Tuhan ada di mana-mana."
Kita pun gelagapan. Bisa-bisa kebohongan demi kebohongan meluncur dari mulut, lantaran kita tak mampu menjelaskan dengan pas. Persis elite kini: suka membesar-besarkan atau mengecilkan data agar tampak dramatik. Juga menyembunyikannya. Jika dikejar dengan pertanyaan lebih tajam, umpamanya, buru-buru menangkis: "Ndak tahu, ya. Kami tidak pegang datanya."
Tapi, begitu insan pers menyodorkan fotokopi data ketidakberesan di instansi dia, jawabannya membabi buta. Tersinggung. "Siapa yang membocorkan itu. Lihat saja nanti. Pasti akan kami tindak," katanya. Lho, kenapa tidak berterima kasih bahwa kebusukan itu bisa diungkapkan?
Dulu, pemikiran dia dianggap brilyan. Banyak orang manggut-manggut lantaran terbuai dan salut pada idealisme yang diusung. Kebajikan seakan dipegang erat. Namun, pada akhirnya, kursi jabatan mengerosi jua. Atau, bisa jadi, perubahan sikap itu muncul lantaran setia pada korps.
Kesetiaan itu, konon, sudah jadi barang langka di republik ini. Orang setia itu selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban, dan tidak suka berkhianat. Tapi, kesetiaan kan tidak untuk dibabibutakan? Bisa menimbulkan sikap superior yang berbuntut tak sudi diajak berdialog.
Itu pula, antara lain, yang membuat mulut bereaksi cepat. Orang sering berpikir menghemat uang, tapi tidak menghemat kata-kata. Persis orangtua yang takut wibawanya luntur kala menghadapi anak. Nada suara pun ditinggikan. Padahal, setiap gerakan, isyarat, bentuk, suara, perkataan, suasana, semua mencerminkan ekspresi sifat dan karakter seseorang.
Jadi, kenapa pula nasihat harus disampaikan dengan nada tinggi dan bikin mengkeret hati? Anak-anak sering curhat: "Kritik kan bisa diomongin dengan rileks. Kayak orang ngobrol. Kan, lebih friendly." Ucapan: "Jalanilah hidup tanpa berkeluh kesah," tentu bermakna lain ketimbang: "Kamu tak boleh berkeluh kesah!"
Maka, biar orangtua tidak emosional, banyak anak memilih mengatupkan bibir. Diam merupakan perjuangan melawan diri sendiri untuk mengendalikan rangsangan agar menjadi kekuatan. Konon, Tuhan memberi "diam" agar kata-kata digunakan secara bijak. Dan, Tuhan memberikan "amarah" untuk menunjukkan makna kedamaian. Jika seseorang mampu menyesuaikan diri dengan hidup, maka hidup akan terasa lebih bersahabat.
Adalah sebuah e-mail mengisahkan sebuah keluarga. Rumah mereka ditinggali suami-istri, anak tunggal mereka berusia enam tahun, dan kakeknya. Kakek itu uzur dan pikun. Tangan dia suka gemetaran. Mata rabun. Saban kali makan bersama, sendok dan garpu yang dipegang kakek itu kerap jatuh. Entah berapa piring dan gelas yang pecah. Taplak meja pun kotor ketumpahan air.
"Kita harus melakukan sesuatu," ujar si suami. Maka, suami-istri itu sepakat membuatkan meja makan kecil khusus untuk si kakek. Mangkuk pun terbuat dari kayu. Kali ini, tiada suara piring pecah. Yang tampak adalah air mata yang mengalir dari gurat keriput si kakek di sudut meja makan kecil tersebut. Dan, bocah enam tahun itu cuma bisa memandang dalam diam.
Suatu malam, sebelum tidur, si anak memainkan mainan dari kayu. "Kamu sedang membuat apa," tanya ayahnya. "Aku sedang membuat meja kayu buat Ayah dan Ibu untuk makan saat aku besar nanti. Nanti akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat Kakek biasa makan," ujar si anak. Jawaban itu kontan memukul kedua orangtuanya. Mereka tak mampu berkata-kata lagi, kecuali meneteskan air mata.
Kesadaran mereka muncul oleh sentilan si kecil. Kesadaran adalah kecerdasan murni yang diperkaya dengan gagasan. Melalui kesadaran, kita jatuh atau bangun. Melalui kesadaran, kita menyempit atau meluas. Ekspansi kesadaran adalah terbukanya jiwa. Sejak itu, timbul suatu gagasan untuk memperbaiki kualitas hidup keluarga mereka.
Mereka sadar bahwa alam itu lahirnya adalah tipuan dan "batinnya" adalah pelajaran. Ternyata, naluri dapat membimbing lebih baik daripada guru atau buku. Esoknya, keluarga itu kembali makan di meja makan bersama, tanpa omelan kala piring terjatuh atau taplak meja ternoda tumpahan kuah sayur.
Toleransi itu muncul lantaran kerendahan hati. Sebaliknya, jiwa paling tidak toleran adalah jiwa yang paling tidak bahagia di dunia. Buntutnya, segala sesuatu menyakitkan. Mereka tak nyaman karena cenderung tidak menyukai, menolak, atau curiga pada banyak hal. Kecenderungan inilah yang perlu dikalahkan agar mampu keluar dari kebingungan dan kegelapan.
Agaknya, benar kata orang bijak, manusia itu sesungguhnya gurunya sendiri: di dalam diri mereka terdapat rahasia keberadaannya. "Tiada kebenaran yang dapat dipelajari dari buku, tiada kebenaran yang dapat dijelaskan dengan bahasa, tiada kebenaran yang dapat ditunjuk dengan jari," tulis Hazrat Inayat Khan, seorang sufi dari India.
Pelajaran hidup kali ini memang muncul dari seorang anak. Makanya, jangan pernah mengecilkan "kacamata" bocah!
Widi Yarmanto
widi@gatra.com
15 June 2006
Tolong, Jawab Cucu Saya
Sungguh tidak mudah menjelaskan perihal gempa bumi kepada seorang cucu yang baru berusia enam tahun. Bagaimana mungkin mengatakan kepadanya bahwa gempa merupakan gejala alam akibat adanya gesekan antara dua lempeng kerak bumi.
Atau akibat adanya pelepasan energi ketika sebuah gunung api memuntahkan isi perutnya. Repotnya, seorang kakek punya kewajiban memuaskan kuriositas atau rasa ingin tahu cucunya. Kalau tidak, si cucu akan merasa kecewa. Bahkan akibatnya bisa lebih jauh; si cucu akan menganggap kakeknya bodoh karena tak bisa menjawab pertanyaannya.
Begitulah, karena tak ingin mengewakan cucu, maka saya jawab pertanyaannya dengan sabar. ''Gempa terjadi karena tanah bergoyang. Goyangan itu demikian kuat sehingga rumah, sekolah, atau masjid rubuh. Kamu sudah melihat tayangannya di TV kan?'' ''Ya, Kek. Tapi mengapa tanah bergoyang? Siapa yang menggoyangkan tanah?''
Saya menarik napas panjang. Saya ragu akan menjawab bagaimana. Tapi kemudian saya sadar bahwa setiap pertanyaan cucu harus dijawab dengan bijak agar rasa ingin tahunya terpuaskan secara benar. ''Yang menggerakkan tanah adalah malaikat utusan Tuhan.''
Mendengar jawaban itu, cucu saya tampak berpikir. Lalu dari mulut mungilnya keluar pertanyaan lagi.''Mengapa malaikat menggerakkan tanah? Kan rumah orang jadi rubuh? Kan jadi banyak orang meninggal karena tertimpa rumah?''''Malaikat hanya menuruti perintah Tuhan. Dan itu ada maksudnya.''''Maksudnya apa?''
''Supaya kita tidak lupa bahwa Tuhan memiliki kekuatan besar sekali. Dan manusia hanya punya kekuatan kecil sekali. Dengan demikian manusia harus taat kepada Tuhan.''''Iya, tapi kasihan orang yang rumahnya rubuh kan?''
''Betul sekali. Mereka sedang dicoba oleh Tuhan.''''Dicoba bagaimana?''
''Dicoba kesabarannya. Kalau sabar mereka akan disayang Tuhan.'' ''Yang sudah meninggal bagaimana?''
''Oh, mereka juga disayang Tuhan dan masuk surga. Dan jangan lupa, kita wajib membantu orang-orang yang menderita karena gempa bumi itu. Supaya kita pun sama-sama disayang Tuhan.'' Alhamdulillah, cucu saya tidak mengejar saya dengan pertanyaan lanjutan. Wajahnya mengendur. Matanya tidak lagi menyimpan rasa ingin tahu.
Selama televisi menaayangkan berita gempa bumi di Yogyakarta dan Jateng, cucu saya selalu menontonnya tanpa bertanya-tanya lagi. Tapi tiga hari yang lalu dia menarik-narik saya agar mendekat ke TV. Saya bergegas memasang kacamata agar bisa lebih jelas melihat apa yang sedang tampak di layar kacar.
Saya tercengang. Di layar sedang ditayangkan situasi sangat kacau. Di sebuah lapangan sepak bola. Dari penyiar saya tahu kekacauan itu terjadi pada pertandingan sepak bola di Mojokerto, Jatim. Konon ada kisruh dan terjadilah pelemparan batu oleh penonton yang mengenai kepala seorang tentara. Si tentara mendatangkan bala sampai ratusan orang dan bersenjata lengkap. Yang sempat saya tonton bersama cucu adalah ketika bala tentara itu mengamuk di tengah lapangan. Mereka menendang, meninju, dan memukul dengan gagang senapan. Banyak korban berdarah-darah.
''Siapa mereka, Kek?''
Saya tidak bisa segera menjawab. Mata saya masih melekat di layar televisi dan masih sulit percaya akan apa yang saya lihat. Dan saya takut menjawab karena saya tahu cucu saya punya kebanggaan tinggi kepada tentara. Mainannya adalah tank plastik, pesawat tempur plastik, juga prajurit plastik. Kalau sudah bermain tentara-tentaraan, cucu saya begitu asyik.
''Siapa mereka yang memukuli orang-orang itu, Kek? Kok seperti tentara?''
''Ya, mereka tentara.''
''Siapa orang yang dipukuli?''
''Penonton sepak bola.''
''Kenapa? Kenapa tentara memukuli penonton sepak bola?''
Lagi, saya tidak bisa segera menjawab. Sebab cucu saya pasti akan kecewa kalau tahu tentara yang dibangga-banggakannya melakukan kekejaman kepada penonton sepak bola. Atau saya sendiri juga sangat kecewa melihat tentara melakukan kekerasan terhadap warga sipil di depan ratusan ribu pasang mata. Dan bukan mustahil, berita keras itu ditayangkan di seluruh dunia.
Mengapa tentara memukul rakyat padahal mereka tahu ada cara yang sah untuk menghukum si pelempar batu yang menjadi penyebab kerusuhan itu? Jawabnya, karena tentara dalam kasus Mojokerto itu tidak punya komitmen yang cukup untuk menegakkan hukum. Dan bila tentara yang merupakan alat kekuasaan negara pun tidak menghormati hukum, maka bagaimana dengan yang lain?
''Kek, kenapa tentara menendang dan memukuli penonton sepak bola?'' Cucu saya kembali bertanya. Dan dia kelihatan termangu karena melihat saya terbata-bata ketika mau memberi jawaban. Ya, tolonglah, jawab pertanyaan cucu saya, ''Kenapa tentara memukul penonton sepak bola?''
Oleh : Ahmad Tohari (Republika)
Atau akibat adanya pelepasan energi ketika sebuah gunung api memuntahkan isi perutnya. Repotnya, seorang kakek punya kewajiban memuaskan kuriositas atau rasa ingin tahu cucunya. Kalau tidak, si cucu akan merasa kecewa. Bahkan akibatnya bisa lebih jauh; si cucu akan menganggap kakeknya bodoh karena tak bisa menjawab pertanyaannya.
Begitulah, karena tak ingin mengewakan cucu, maka saya jawab pertanyaannya dengan sabar. ''Gempa terjadi karena tanah bergoyang. Goyangan itu demikian kuat sehingga rumah, sekolah, atau masjid rubuh. Kamu sudah melihat tayangannya di TV kan?'' ''Ya, Kek. Tapi mengapa tanah bergoyang? Siapa yang menggoyangkan tanah?''
Saya menarik napas panjang. Saya ragu akan menjawab bagaimana. Tapi kemudian saya sadar bahwa setiap pertanyaan cucu harus dijawab dengan bijak agar rasa ingin tahunya terpuaskan secara benar. ''Yang menggerakkan tanah adalah malaikat utusan Tuhan.''
Mendengar jawaban itu, cucu saya tampak berpikir. Lalu dari mulut mungilnya keluar pertanyaan lagi.''Mengapa malaikat menggerakkan tanah? Kan rumah orang jadi rubuh? Kan jadi banyak orang meninggal karena tertimpa rumah?''''Malaikat hanya menuruti perintah Tuhan. Dan itu ada maksudnya.''''Maksudnya apa?''
''Supaya kita tidak lupa bahwa Tuhan memiliki kekuatan besar sekali. Dan manusia hanya punya kekuatan kecil sekali. Dengan demikian manusia harus taat kepada Tuhan.''''Iya, tapi kasihan orang yang rumahnya rubuh kan?''
''Betul sekali. Mereka sedang dicoba oleh Tuhan.''''Dicoba bagaimana?''
''Dicoba kesabarannya. Kalau sabar mereka akan disayang Tuhan.'' ''Yang sudah meninggal bagaimana?''
''Oh, mereka juga disayang Tuhan dan masuk surga. Dan jangan lupa, kita wajib membantu orang-orang yang menderita karena gempa bumi itu. Supaya kita pun sama-sama disayang Tuhan.'' Alhamdulillah, cucu saya tidak mengejar saya dengan pertanyaan lanjutan. Wajahnya mengendur. Matanya tidak lagi menyimpan rasa ingin tahu.
Selama televisi menaayangkan berita gempa bumi di Yogyakarta dan Jateng, cucu saya selalu menontonnya tanpa bertanya-tanya lagi. Tapi tiga hari yang lalu dia menarik-narik saya agar mendekat ke TV. Saya bergegas memasang kacamata agar bisa lebih jelas melihat apa yang sedang tampak di layar kacar.
Saya tercengang. Di layar sedang ditayangkan situasi sangat kacau. Di sebuah lapangan sepak bola. Dari penyiar saya tahu kekacauan itu terjadi pada pertandingan sepak bola di Mojokerto, Jatim. Konon ada kisruh dan terjadilah pelemparan batu oleh penonton yang mengenai kepala seorang tentara. Si tentara mendatangkan bala sampai ratusan orang dan bersenjata lengkap. Yang sempat saya tonton bersama cucu adalah ketika bala tentara itu mengamuk di tengah lapangan. Mereka menendang, meninju, dan memukul dengan gagang senapan. Banyak korban berdarah-darah.
''Siapa mereka, Kek?''
Saya tidak bisa segera menjawab. Mata saya masih melekat di layar televisi dan masih sulit percaya akan apa yang saya lihat. Dan saya takut menjawab karena saya tahu cucu saya punya kebanggaan tinggi kepada tentara. Mainannya adalah tank plastik, pesawat tempur plastik, juga prajurit plastik. Kalau sudah bermain tentara-tentaraan, cucu saya begitu asyik.
''Siapa mereka yang memukuli orang-orang itu, Kek? Kok seperti tentara?''
''Ya, mereka tentara.''
''Siapa orang yang dipukuli?''
''Penonton sepak bola.''
''Kenapa? Kenapa tentara memukuli penonton sepak bola?''
Lagi, saya tidak bisa segera menjawab. Sebab cucu saya pasti akan kecewa kalau tahu tentara yang dibangga-banggakannya melakukan kekejaman kepada penonton sepak bola. Atau saya sendiri juga sangat kecewa melihat tentara melakukan kekerasan terhadap warga sipil di depan ratusan ribu pasang mata. Dan bukan mustahil, berita keras itu ditayangkan di seluruh dunia.
Mengapa tentara memukul rakyat padahal mereka tahu ada cara yang sah untuk menghukum si pelempar batu yang menjadi penyebab kerusuhan itu? Jawabnya, karena tentara dalam kasus Mojokerto itu tidak punya komitmen yang cukup untuk menegakkan hukum. Dan bila tentara yang merupakan alat kekuasaan negara pun tidak menghormati hukum, maka bagaimana dengan yang lain?
''Kek, kenapa tentara menendang dan memukuli penonton sepak bola?'' Cucu saya kembali bertanya. Dan dia kelihatan termangu karena melihat saya terbata-bata ketika mau memberi jawaban. Ya, tolonglah, jawab pertanyaan cucu saya, ''Kenapa tentara memukul penonton sepak bola?''
Oleh : Ahmad Tohari (Republika)
19 May 2006
Asrori
Di suatu sore di Perumahan Nogotirto tanggal 25 April 2006, seorang lelaki separuh baya menawarkan tali plastik kepada saya. Karena saya mau beli, meteran lalu dikeluarkannya untuk mengukur tali itu. Penampilannya yang lugu dan polos telah menggoda saya untuk mewawancarainya. Bicaranya yang agak kurang jelas dalam bahasa Jawa, bisa saya tangkap 100 persen. Sambil mengeluarkan SIM C-nya, ia menyebut namanya Asrori (45). Berasal dari Mlangi, desa yang banyak pesantrennya, tidak jauh dari perumahan.
Saya tanyakan, mana sepeda motornya? Dijawab, sudah dijual untuk ongkos anak sekolah. Anak nomor 1 dan 2 rampung SMP langsung masuk pesantren yang tidak jauh dari rumahnya dengan biaya all in dua beradik hanya Rp 125 ribu. Luar biasa bukan? Anak nomor 3 masih SD, sedangkan yang nomor 4 baru berusia dua tahun.
Istrinya yang pernah dua kali ke Saudi kini menerima pesanan jahitan dengan pendapatan yang tidak seberapa. Di Saudi, istrinya hampir saja diperkosa oleh orang Arab, tetapi diselamatkan Tuhan. Kita tidak tahu sudah berapa banyak TKW kita yang menjadi korban kenekatan jahanam ini di berbagai belahan bumi. Menurut Asrori, penghasilan mereka sekarang hanyalah sekadar untuk menyambung hidup dari hari ke hari.
Sudah sejak 1975 Asrori mengelilingi Yogya dengan tali plastiknya bersama sepeda tua yang dikayuhnya ke sana ke mari. Di samping plastik, ada juga obat tikus, dan lain-lain. Ditaruhnya dalam sebuah kotak kayu kecil. Jika dagangannya laku sampai Rp 75 ribu sehari, untung bersihnya hanyalah sekitar 25 persen.
Ketika nama saya ditanyakannya, saya jawab Syafii Maarif. ''Sama dengan Maarif yang mengurus masalah pendidikan itu,'' komentarnya. Mlangi memang dikenal sebagai salah satu benteng NU dengan para kiainya. Asrori tampaknya adalah warga NU yang mudah sekali akrab dengan orang lain yang baru dikenalnya.
Dari pembicaraan kami sore itu, sadarlah saya bahwa manusia Asrori adalah tipe manusia yang penuh tawakal dalam mencari rezeki. Filosofinya sederhana: Asal bergerak, Allah pasti memberi imbangan. Dikatakannya, malam ia biasa shalat Tahajud, pagi hari shalat Dhuha sambil memohon kepada Allah agar senantiasa dilindungi dan diberi rezeki yang halal. Perkataan halal ini diulang-ulangnya. Mungkin ia tahu sebagian masyarakat sudah tidak hirau lagi dengan masalah halal-haram. Asal dapat, jangan ditanya lagi dari mana sumbernya. Asrori punya kepekaan batin untuk tidak terjebak pada yang haram.
Sekalipun hidupnya sangat sederhana, di wajahnya tidak terbayang tanda kegelisahan dan kemuraman. Ia pasrah, tetapi harus bergerak terus tanpa henti saban hari. Dengan caranya sendiri, Asrori mengayuh bahtera hidup ini tanpa grusa-grusu (tergopoh-gopoh). Ia tenang, setenang sepeda tuannya yang setia. Bila lewat perumahan, sepedanya biasa dituntun sambil menawarkan barang dagangannya. Saya tidak tahu mengapa baru sekarang ini berjumpa Asrori, padahal saya sekeluarga telah tinggal di perumahan ini sejak 1985.
Mungkin ketika lewat perumahan, saya kurang memperhatikannya selama ini. Saya teringat dalam salah satu karya Hamka yang menggambarkan bahwa boleh jadi di rumah-rumah besar dan mewah air mata lebih banyak tertumpah karena kebahagiaan tidak kunjung datang, dibandingkan dengan rumah-rumah sederhana dan kecil. Tentu kita tidak perlu mengidolakan seorang Asrori. Tetapi, ketabahannya dalam melangsungkan hidup secara halal selama 31 tahun, patut dicatat. Tidak mustahil manusia seperti Asrori ini akan lebih dulu masuk surga dibandingkan dengan penulis Resonansi ini yang kadang-kadang masih juga gelisah tanpa suatu sebab yang jelas.
Tampaknya Asrori punya rasa tawakal melebihi saya. Berkali-kali saya pandang wajahnya sambil ia terus saja berbicara. Kepasrahannya yang tulus adalah modal utamanya dalam menghadapi serba kesulitan hidup yang sedang menerpa jutaan anak bangsa ini.
Untuk membiayai rumah tangga, Asrori berbagi tanggung jawab dengan istrinya. Masalah beras adalah bagian istrinya, lauk pauk dan biaya anak menjadi tanggung jawabnya. Mungkin pendapatannya bergerak antara Rp 600 ribu dan Rp 700 ribu per bulan dengan jumlah enam mulut yang harus diberi makan. Dua anaknya yang belajar di pesantren mengunjungi orang tuanya sekali dalam satu minggu. Kata Asrori, di rumah mereka dibiarkan makan secukupnya, tetapi tidak boleh sambat (mengeluh) jika lauk pauknya tidak memadai. Yang sedikit memprihatinkannya adalah anaknya yang kedua suka merokok murahan. Sudah ditegur berkali-kali, tetapi belum berhasil. Tentu dibandingkan dengan penghisap narkoba, kebiasaan merokok bocah ini tidak ada apa-apanya, tetapi tokh orang tuanya tetap tidak rela.
Bagi saya, Asrori adalah simbol rakyat kecil yang tetap menjaga cara hidup halal, sekalipun ia harus menggenjot sepeda tuanya dalam jarak sekitar 30 km setiap hari selama 31 tahun. Ia pantang menyerah. Keluguannya dalam berbicara adalah pertanda bahwa batinnya bersih. Hidup yang begini ganas disikapinya dengan cara yang sangat elegan (halus). Itulah sosok Asrori, sahabat kita semua.
Oleh Syafii Maarif (Republika.co.id)
Saya tanyakan, mana sepeda motornya? Dijawab, sudah dijual untuk ongkos anak sekolah. Anak nomor 1 dan 2 rampung SMP langsung masuk pesantren yang tidak jauh dari rumahnya dengan biaya all in dua beradik hanya Rp 125 ribu. Luar biasa bukan? Anak nomor 3 masih SD, sedangkan yang nomor 4 baru berusia dua tahun.
Istrinya yang pernah dua kali ke Saudi kini menerima pesanan jahitan dengan pendapatan yang tidak seberapa. Di Saudi, istrinya hampir saja diperkosa oleh orang Arab, tetapi diselamatkan Tuhan. Kita tidak tahu sudah berapa banyak TKW kita yang menjadi korban kenekatan jahanam ini di berbagai belahan bumi. Menurut Asrori, penghasilan mereka sekarang hanyalah sekadar untuk menyambung hidup dari hari ke hari.
Sudah sejak 1975 Asrori mengelilingi Yogya dengan tali plastiknya bersama sepeda tua yang dikayuhnya ke sana ke mari. Di samping plastik, ada juga obat tikus, dan lain-lain. Ditaruhnya dalam sebuah kotak kayu kecil. Jika dagangannya laku sampai Rp 75 ribu sehari, untung bersihnya hanyalah sekitar 25 persen.
Ketika nama saya ditanyakannya, saya jawab Syafii Maarif. ''Sama dengan Maarif yang mengurus masalah pendidikan itu,'' komentarnya. Mlangi memang dikenal sebagai salah satu benteng NU dengan para kiainya. Asrori tampaknya adalah warga NU yang mudah sekali akrab dengan orang lain yang baru dikenalnya.
Dari pembicaraan kami sore itu, sadarlah saya bahwa manusia Asrori adalah tipe manusia yang penuh tawakal dalam mencari rezeki. Filosofinya sederhana: Asal bergerak, Allah pasti memberi imbangan. Dikatakannya, malam ia biasa shalat Tahajud, pagi hari shalat Dhuha sambil memohon kepada Allah agar senantiasa dilindungi dan diberi rezeki yang halal. Perkataan halal ini diulang-ulangnya. Mungkin ia tahu sebagian masyarakat sudah tidak hirau lagi dengan masalah halal-haram. Asal dapat, jangan ditanya lagi dari mana sumbernya. Asrori punya kepekaan batin untuk tidak terjebak pada yang haram.
Sekalipun hidupnya sangat sederhana, di wajahnya tidak terbayang tanda kegelisahan dan kemuraman. Ia pasrah, tetapi harus bergerak terus tanpa henti saban hari. Dengan caranya sendiri, Asrori mengayuh bahtera hidup ini tanpa grusa-grusu (tergopoh-gopoh). Ia tenang, setenang sepeda tuannya yang setia. Bila lewat perumahan, sepedanya biasa dituntun sambil menawarkan barang dagangannya. Saya tidak tahu mengapa baru sekarang ini berjumpa Asrori, padahal saya sekeluarga telah tinggal di perumahan ini sejak 1985.
Mungkin ketika lewat perumahan, saya kurang memperhatikannya selama ini. Saya teringat dalam salah satu karya Hamka yang menggambarkan bahwa boleh jadi di rumah-rumah besar dan mewah air mata lebih banyak tertumpah karena kebahagiaan tidak kunjung datang, dibandingkan dengan rumah-rumah sederhana dan kecil. Tentu kita tidak perlu mengidolakan seorang Asrori. Tetapi, ketabahannya dalam melangsungkan hidup secara halal selama 31 tahun, patut dicatat. Tidak mustahil manusia seperti Asrori ini akan lebih dulu masuk surga dibandingkan dengan penulis Resonansi ini yang kadang-kadang masih juga gelisah tanpa suatu sebab yang jelas.
Tampaknya Asrori punya rasa tawakal melebihi saya. Berkali-kali saya pandang wajahnya sambil ia terus saja berbicara. Kepasrahannya yang tulus adalah modal utamanya dalam menghadapi serba kesulitan hidup yang sedang menerpa jutaan anak bangsa ini.
Untuk membiayai rumah tangga, Asrori berbagi tanggung jawab dengan istrinya. Masalah beras adalah bagian istrinya, lauk pauk dan biaya anak menjadi tanggung jawabnya. Mungkin pendapatannya bergerak antara Rp 600 ribu dan Rp 700 ribu per bulan dengan jumlah enam mulut yang harus diberi makan. Dua anaknya yang belajar di pesantren mengunjungi orang tuanya sekali dalam satu minggu. Kata Asrori, di rumah mereka dibiarkan makan secukupnya, tetapi tidak boleh sambat (mengeluh) jika lauk pauknya tidak memadai. Yang sedikit memprihatinkannya adalah anaknya yang kedua suka merokok murahan. Sudah ditegur berkali-kali, tetapi belum berhasil. Tentu dibandingkan dengan penghisap narkoba, kebiasaan merokok bocah ini tidak ada apa-apanya, tetapi tokh orang tuanya tetap tidak rela.
Bagi saya, Asrori adalah simbol rakyat kecil yang tetap menjaga cara hidup halal, sekalipun ia harus menggenjot sepeda tuanya dalam jarak sekitar 30 km setiap hari selama 31 tahun. Ia pantang menyerah. Keluguannya dalam berbicara adalah pertanda bahwa batinnya bersih. Hidup yang begini ganas disikapinya dengan cara yang sangat elegan (halus). Itulah sosok Asrori, sahabat kita semua.
Oleh Syafii Maarif (Republika.co.id)
13 April 2006
Telur dan kepiting
KETIKA belanja di sebuah pasar swalayan di Bandung, secara kebetulan saya menemukan "cai-po", yaitu lobak yang dikeringkan dan dimaniskan. Hati saya bersorak girang. Dulu ketika kecil, ayah sering menggoreng telur dadar dengan "cai-po" ini. Hasilnya memang luar biasa. Telur yang sederhana, kalau diberi "cai-po" memang bisa terasa sangat gurih, dan menjelma menjadi hidangan istimewa.
Ayah pernah mengajarkan sebuah filosofi tentang telur. Kata beliau, telur memang selalu terlihat sederhana. Tapi justru kesederhanaan sebuah telur membuatnya menjadi sangat fleksibel. Bisa hanya di goreng mata sapi, didadar, ditim, di buat sup, atau dimasak dengan apa pun. Itu sebabnya, ketika saya mau kuliah ke Australia, ayah wanti-wanti agar saya menguasai ilmu memasak dengan telur. Kalau dihitung-hitung saya punya resep canggih lebih dari selusin. Semua berkat nasihat ayah.
Saat kuliah di Australia, dengan bujet hidup yang serba pas, saya juga belajar improvisasi. Dari teman-teman, saya belajar resep yang lain. Akhirnya ketika pulang ke Jakarta, koleksi resep saya, sudah banyak sekali. Andaikata saya mau bikin sebuah restoran yang menyajikan menu khusus telur, pasti saya mampu.
John Steinbeck, novelis dan pengarang terkenal Amerika, pernah sekali menulis, "Ideas are like rabbits. You get a couple, learn how to handle them, and pretty soon you have a dozen." Jadi bukanlah sebuah keajaiban kalau saya tahu aneka cara memasak telur yang kreatif. Melainkan situasi yang unik yang membuat saya seperti itu. Saya hanya menjadi murid yang patuh. Kebetulan saja, saya orangnya selalu penuh rasa penasaran. Sehingga saya yang akhirnya memanfaatkan situasi bujet hidup yang ngepas, untuk menciptakan resep telur yang kreatif.
Memanfaatkan sebuah situasi, merupakan ilmu pemberdayaan tersendiri. Trik ini juga memerlukan imajinasi tersendiri. Alkisah di Pulau Tarakan, Kalimantan banyak pengusaha tambak udang. Konon beberapa tahun yang lalu, hingga kini juga, tambak-tambak udang ini memiliki "by product" atau produk sampingan yaitu kepiting.
Bagi petani tambak udang, kepiting-kepiting ini adalah hama. Karena mengurangi produktivtas udang. Penduduk Pulau Tarakan sendiri, kurang dari 200.000 orang. Sehingga praktis kepiting yang dihasilkan tidak ada nilainya, harganya pun cukup murah.
Beberapa tahun yang lalu, ketika berkunjung ke Tarakan, saya diajak ke sebuah restoran yang menyajikan masakan Kepiting ala saos Tarakan. Terus terang saya kaget, karena ketika dihidangkan, kepiting besar-besar terhidang di piring sangat besar, begitu banyaknya. Jenis masakannya cuma satu. Yaitu kepiting saos itu. Tidak ada yang lain. Rasanya memang gurih. Saya sampai kekenyangan makan kepiting.
Setelah peristiwa itu, berbulan-bulan saya tidak selera lagi makan kepiting. Mungkin saking kagetnya. Sayang, restoran itu tidak imajinatif untuk membuat hidangan lain dengan kepiting.
Ketika Minggu lalu kembali ke Tarakan, saya diajak makan lagi di restoran yang sama. Mulanya saya takut. Ingat pengalaman tempo doeloe. Malam itu, ketika kami tiba di restoran, suasana restoran masih persis sama seperti beberapa tahun yang lalu. Tanpa ada perbaikan. Juga tidak ada tanda-tanda kemajuan. Semua serba sama.
Beda dengan cerita di Balikpapan. Di kota yang cuma satu jam terbang dari Tarakan, kini sudah ada beberapa restoran yang menyajikan kepiting ala saos Tarakan. Rupanya ada juga pengusaha yang imajinatif, yang memanfaatkan situasi kepiting murah di Tarakan. Restoran-restoran kepiting dibangun jauh lebih mewah, menawarkan suasana makan yang lebih nyaman. Sehingga kepiting Tarakan lebih nikmat kita nikmati di Balikpapan dibanding di Tarakan sendiri.
Kadang situasi di sekeliling kita dipenuhi dengan berbagai peluang yang unik. Bagi mereka yang tidak terlatih, peluang itu mirip dengan angin semilir yang lewat. Nah, lain ceritanya bagi mereka yang telah terlatih dengan jiwa entrepeneur. Jangankan angin semilir, angin baru mau bergerak saja, mereka sudah tahu. Mereka selalu sigap menyergapnya. Dan imajinasi adalah jaring mereka untuk menangkap peluang.
Kafi Kurnia (Gatra.com)
Ayah pernah mengajarkan sebuah filosofi tentang telur. Kata beliau, telur memang selalu terlihat sederhana. Tapi justru kesederhanaan sebuah telur membuatnya menjadi sangat fleksibel. Bisa hanya di goreng mata sapi, didadar, ditim, di buat sup, atau dimasak dengan apa pun. Itu sebabnya, ketika saya mau kuliah ke Australia, ayah wanti-wanti agar saya menguasai ilmu memasak dengan telur. Kalau dihitung-hitung saya punya resep canggih lebih dari selusin. Semua berkat nasihat ayah.
Saat kuliah di Australia, dengan bujet hidup yang serba pas, saya juga belajar improvisasi. Dari teman-teman, saya belajar resep yang lain. Akhirnya ketika pulang ke Jakarta, koleksi resep saya, sudah banyak sekali. Andaikata saya mau bikin sebuah restoran yang menyajikan menu khusus telur, pasti saya mampu.
John Steinbeck, novelis dan pengarang terkenal Amerika, pernah sekali menulis, "Ideas are like rabbits. You get a couple, learn how to handle them, and pretty soon you have a dozen." Jadi bukanlah sebuah keajaiban kalau saya tahu aneka cara memasak telur yang kreatif. Melainkan situasi yang unik yang membuat saya seperti itu. Saya hanya menjadi murid yang patuh. Kebetulan saja, saya orangnya selalu penuh rasa penasaran. Sehingga saya yang akhirnya memanfaatkan situasi bujet hidup yang ngepas, untuk menciptakan resep telur yang kreatif.
Memanfaatkan sebuah situasi, merupakan ilmu pemberdayaan tersendiri. Trik ini juga memerlukan imajinasi tersendiri. Alkisah di Pulau Tarakan, Kalimantan banyak pengusaha tambak udang. Konon beberapa tahun yang lalu, hingga kini juga, tambak-tambak udang ini memiliki "by product" atau produk sampingan yaitu kepiting.
Bagi petani tambak udang, kepiting-kepiting ini adalah hama. Karena mengurangi produktivtas udang. Penduduk Pulau Tarakan sendiri, kurang dari 200.000 orang. Sehingga praktis kepiting yang dihasilkan tidak ada nilainya, harganya pun cukup murah.
Beberapa tahun yang lalu, ketika berkunjung ke Tarakan, saya diajak ke sebuah restoran yang menyajikan masakan Kepiting ala saos Tarakan. Terus terang saya kaget, karena ketika dihidangkan, kepiting besar-besar terhidang di piring sangat besar, begitu banyaknya. Jenis masakannya cuma satu. Yaitu kepiting saos itu. Tidak ada yang lain. Rasanya memang gurih. Saya sampai kekenyangan makan kepiting.
Setelah peristiwa itu, berbulan-bulan saya tidak selera lagi makan kepiting. Mungkin saking kagetnya. Sayang, restoran itu tidak imajinatif untuk membuat hidangan lain dengan kepiting.
Ketika Minggu lalu kembali ke Tarakan, saya diajak makan lagi di restoran yang sama. Mulanya saya takut. Ingat pengalaman tempo doeloe. Malam itu, ketika kami tiba di restoran, suasana restoran masih persis sama seperti beberapa tahun yang lalu. Tanpa ada perbaikan. Juga tidak ada tanda-tanda kemajuan. Semua serba sama.
Beda dengan cerita di Balikpapan. Di kota yang cuma satu jam terbang dari Tarakan, kini sudah ada beberapa restoran yang menyajikan kepiting ala saos Tarakan. Rupanya ada juga pengusaha yang imajinatif, yang memanfaatkan situasi kepiting murah di Tarakan. Restoran-restoran kepiting dibangun jauh lebih mewah, menawarkan suasana makan yang lebih nyaman. Sehingga kepiting Tarakan lebih nikmat kita nikmati di Balikpapan dibanding di Tarakan sendiri.
Kadang situasi di sekeliling kita dipenuhi dengan berbagai peluang yang unik. Bagi mereka yang tidak terlatih, peluang itu mirip dengan angin semilir yang lewat. Nah, lain ceritanya bagi mereka yang telah terlatih dengan jiwa entrepeneur. Jangankan angin semilir, angin baru mau bergerak saja, mereka sudah tahu. Mereka selalu sigap menyergapnya. Dan imajinasi adalah jaring mereka untuk menangkap peluang.
Kafi Kurnia (Gatra.com)
Gen Korupsi
VAN Gogh melukis untuk memuaskan perasaan sendiri, itu lumrah. Koruptor yang menggendutkan perut sendiri dengan me-mark up atau me-mark down proyek pemerintah, tentu tidak lumrah. Bahkan, ada yang menyebut dengan kasar: ''Bangsat!'' Di saat ekonomi morat-marit dan banyak karyawan dirumahkan, mereka justru berpesta-pora.
Sebagai pejabat, yang gaji dan tunjangannya cukup untuk hidup sebulan, masih mengumbar keserakahan, memang keterlaluan. Demi gengsi, pujian, dan kehormatan, dia merasa tak pantas tinggal di rumah biasa. Obsesinya, ''Harus sejenis rumah di Pondok Indah,'' kata Abdullah Hehamahua, penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (PKK).
Dalam diskusi bertajuk ''Peran Pers dalam Pemberantasan KKN'' di Gedung Pers, Semarang, awal Maret itu, ia membeberkan beragam ulah pejabat dan istri, yang, antara lain, tak sudi berbelanja di pasar tradisional, melainkan di supermarket atau hypermarket. Lalu tiap akhir pekan shopping di Singapura dan Hong Kong.
Mereka tak peduli wong cilik, dan tak punya rasa malu. Padahal, seorang PSK, kala tertangkap dalam razia, menutup wajah saat disorot kamera TV. Bandingkan dengan tersangka koruptor. Usai diperiksa penegak hukum malah tersenyum bangga, dan kasih keterangan pers. ''Jadi, PSK itu masih punya rasa malu dibandingkan dengan koruptor,'' ujar dia.
Di mata Abdullah, perilaku sebagian masyarakat yang enggan berurusan dengan pejabat di kantor, dan mencari kemudahan dengan mendatangi rumah si pejabat, termasuk yang mengentalkan proses korupsi. Kedua pihak telah meletakkan fondasi ''korupsi sistemik.''
Urusan di kantor lain pula. Silakan pilih: mau jalan tol atau jalan biasa! Lewat tol urusan lebih cepat, tapi pakai bayaran. Adapun yang memilih jalur biasa --sesuai birokrasi-- juga tidak dilarang. Hanya saja, urusan bisa kelar dalam hitungan hari, minggu, atau bahkan bisa berbulan-bulan. Praktek seperti ini tampak subur di sektor pelayanan publik.
Contoh lain adalah bus PPD dan kereta api Jabotabek, yang tak pernah untung. Padahal, tiap hari disesaki manusia, bahkan sampai bergelantungan. Rupanya, kerugian itu disebabkan oleh aturan penumpang membayar pada petugas. Berbeda dengan di Singapura, Kuala Lumpur, dan Tokyo yang membayar pada mesin, yang tidak akan dikorup.
Simak pula guru-guru waktu kenaikan kelas. ''Pada pesta,'' tutur Abdullah. Dosen sama saja: minta diberi tanda terima kasih oleh mahasiswanya. Wartawan usai konferensi pers juga masih menunggu sesuatu. Apa? Amplop! Walau Abdullah tidak memungkiri peran pers dalam memberantas korupsi yang cukup besar.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi juga digolongkan korupsi. Gratifikasi itu, dalam arti luas, bisa meliputi barang, diskon, komisi, tiket perjalanan, dan akomodasi. Sayangnya, undang-undang ini tak secara tegas menetapkan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan keluarga atau partai, tergolong korupsi atau tidak.
Menurut mantan Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) itu, ''Presiden atau wakil presiden yang bertugas ke daerah yang dibiayai negara, lalu mengumpulkan ketua-ketua partai, itu pun termasuk KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).'' Memakai fasilitas kantor untuk kebutuhan keluarga digolongkan KKN.
Maka, jangan heran jika indeks persepsi korupsi Indonesia sangat tinggi (2,2%), kebocoran dana pembangunan 45%, dan pungutan liar menyedot 30% dari biaya produksi. Buntutnya adalah ekonomi berkembang lambat (4,8%), rakyat miskin 16,6%, dan pengangguran 9,7%. ''Strategi pembangunan ekonomi yang mengejar pertumbuhan --bukan kesejahteraan rakyat-- akan melahirkan korupsi,'' kata Abdullah.
Celakanya, keberpihakan pemerintah dalam mengikis koruptor, masih pilih kasih. Adapun strategi KPK memberantas koruptor adalah, ''Ambil domba yang tercecer,'' katanya. Maksudnya, comot yang bisa dicomot. Jika izin dari presiden untuk memeriksa koruptor sulit atau dipersulit, ''Ya, periksa yang tak perlu izin.''
Kemudian, agar mata rantai korupsi terpangkas, Abdullah usul, ''Jangan menghadiri undangan dari koruptor dan keluarganya. Jangan mengundang koruptor atau keluarganya dalam acara Saudara. Jangan beristri/bersuami, bermenantu/bermertua, beripar/berbesan dengan koruptor atau keluarganya. Juga jangan mensalatkan jenazah koruptor,'' kata mantan Ketua Umum HMI tahun 1979-1981 itu.
Dari paparan tersebut, Abdullah mungkin tak bermaksud melahirkan gerakan baru. Ia juga tidak mempropagandakan penderitaan dan keterbelakangan bangsa. Ia hanya menyuguhkan kemiskinan dan keserakahan. Ia ingin agar orang menjadi tahu bahwa negara ini bisa porak-poranda oleh budaya korupsi yang tengah menggurita.
Tampaknya, di Gedung Pers itu, Abdullah tak sekadar menggelorakan semangat. Ia juga memberi contoh nyata. Di akhir diskusi, misalnya, ia tidak mau menyentuh minuman yang disuguhkan oleh panitia. Takut santet? Bukan. ''Sesuai kode etik, setiap anggota KPK dalam menjalankan tugas tidak boleh menerima apa pun, termasuk minum,'' ujar pria.
Luar biasa! Pria yang pernah empat kali masuk penjara --termasuk dipenjara seminggu karena memberitakan ulah polisi brengsek-- itu, memang sarat pengalaman. Ia pernah ditahan dua tahun karena membongkar kasus korupsi Gubernur Sulawesi Selatan. Ia juga akan dibunuh aparat karena membongkar sebuah konspirasi di pengadilan negeri.
Di akhir makalahnya, Abdullah memaparkan sebuah penelitian di Amerika Serikat (1999) atas orang-orang yang bunuh diri. Ternyata pada mereka ditemukan gen bunuh diri. Tampak tak masuk akal, memang. ''Apakah mungkin dalam diri koruptor di Indonesia juga ditemukan gen korupsi? Hemat saya, itu tidak mustahil,'' tulis Abdullah.
Sebagai pejabat, yang gaji dan tunjangannya cukup untuk hidup sebulan, masih mengumbar keserakahan, memang keterlaluan. Demi gengsi, pujian, dan kehormatan, dia merasa tak pantas tinggal di rumah biasa. Obsesinya, ''Harus sejenis rumah di Pondok Indah,'' kata Abdullah Hehamahua, penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (PKK).
Dalam diskusi bertajuk ''Peran Pers dalam Pemberantasan KKN'' di Gedung Pers, Semarang, awal Maret itu, ia membeberkan beragam ulah pejabat dan istri, yang, antara lain, tak sudi berbelanja di pasar tradisional, melainkan di supermarket atau hypermarket. Lalu tiap akhir pekan shopping di Singapura dan Hong Kong.
Mereka tak peduli wong cilik, dan tak punya rasa malu. Padahal, seorang PSK, kala tertangkap dalam razia, menutup wajah saat disorot kamera TV. Bandingkan dengan tersangka koruptor. Usai diperiksa penegak hukum malah tersenyum bangga, dan kasih keterangan pers. ''Jadi, PSK itu masih punya rasa malu dibandingkan dengan koruptor,'' ujar dia.
Di mata Abdullah, perilaku sebagian masyarakat yang enggan berurusan dengan pejabat di kantor, dan mencari kemudahan dengan mendatangi rumah si pejabat, termasuk yang mengentalkan proses korupsi. Kedua pihak telah meletakkan fondasi ''korupsi sistemik.''
Urusan di kantor lain pula. Silakan pilih: mau jalan tol atau jalan biasa! Lewat tol urusan lebih cepat, tapi pakai bayaran. Adapun yang memilih jalur biasa --sesuai birokrasi-- juga tidak dilarang. Hanya saja, urusan bisa kelar dalam hitungan hari, minggu, atau bahkan bisa berbulan-bulan. Praktek seperti ini tampak subur di sektor pelayanan publik.
Contoh lain adalah bus PPD dan kereta api Jabotabek, yang tak pernah untung. Padahal, tiap hari disesaki manusia, bahkan sampai bergelantungan. Rupanya, kerugian itu disebabkan oleh aturan penumpang membayar pada petugas. Berbeda dengan di Singapura, Kuala Lumpur, dan Tokyo yang membayar pada mesin, yang tidak akan dikorup.
Simak pula guru-guru waktu kenaikan kelas. ''Pada pesta,'' tutur Abdullah. Dosen sama saja: minta diberi tanda terima kasih oleh mahasiswanya. Wartawan usai konferensi pers juga masih menunggu sesuatu. Apa? Amplop! Walau Abdullah tidak memungkiri peran pers dalam memberantas korupsi yang cukup besar.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi juga digolongkan korupsi. Gratifikasi itu, dalam arti luas, bisa meliputi barang, diskon, komisi, tiket perjalanan, dan akomodasi. Sayangnya, undang-undang ini tak secara tegas menetapkan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan keluarga atau partai, tergolong korupsi atau tidak.
Menurut mantan Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) itu, ''Presiden atau wakil presiden yang bertugas ke daerah yang dibiayai negara, lalu mengumpulkan ketua-ketua partai, itu pun termasuk KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).'' Memakai fasilitas kantor untuk kebutuhan keluarga digolongkan KKN.
Maka, jangan heran jika indeks persepsi korupsi Indonesia sangat tinggi (2,2%), kebocoran dana pembangunan 45%, dan pungutan liar menyedot 30% dari biaya produksi. Buntutnya adalah ekonomi berkembang lambat (4,8%), rakyat miskin 16,6%, dan pengangguran 9,7%. ''Strategi pembangunan ekonomi yang mengejar pertumbuhan --bukan kesejahteraan rakyat-- akan melahirkan korupsi,'' kata Abdullah.
Celakanya, keberpihakan pemerintah dalam mengikis koruptor, masih pilih kasih. Adapun strategi KPK memberantas koruptor adalah, ''Ambil domba yang tercecer,'' katanya. Maksudnya, comot yang bisa dicomot. Jika izin dari presiden untuk memeriksa koruptor sulit atau dipersulit, ''Ya, periksa yang tak perlu izin.''
Kemudian, agar mata rantai korupsi terpangkas, Abdullah usul, ''Jangan menghadiri undangan dari koruptor dan keluarganya. Jangan mengundang koruptor atau keluarganya dalam acara Saudara. Jangan beristri/bersuami, bermenantu/bermertua, beripar/berbesan dengan koruptor atau keluarganya. Juga jangan mensalatkan jenazah koruptor,'' kata mantan Ketua Umum HMI tahun 1979-1981 itu.
Dari paparan tersebut, Abdullah mungkin tak bermaksud melahirkan gerakan baru. Ia juga tidak mempropagandakan penderitaan dan keterbelakangan bangsa. Ia hanya menyuguhkan kemiskinan dan keserakahan. Ia ingin agar orang menjadi tahu bahwa negara ini bisa porak-poranda oleh budaya korupsi yang tengah menggurita.
Tampaknya, di Gedung Pers itu, Abdullah tak sekadar menggelorakan semangat. Ia juga memberi contoh nyata. Di akhir diskusi, misalnya, ia tidak mau menyentuh minuman yang disuguhkan oleh panitia. Takut santet? Bukan. ''Sesuai kode etik, setiap anggota KPK dalam menjalankan tugas tidak boleh menerima apa pun, termasuk minum,'' ujar pria.
Luar biasa! Pria yang pernah empat kali masuk penjara --termasuk dipenjara seminggu karena memberitakan ulah polisi brengsek-- itu, memang sarat pengalaman. Ia pernah ditahan dua tahun karena membongkar kasus korupsi Gubernur Sulawesi Selatan. Ia juga akan dibunuh aparat karena membongkar sebuah konspirasi di pengadilan negeri.
Di akhir makalahnya, Abdullah memaparkan sebuah penelitian di Amerika Serikat (1999) atas orang-orang yang bunuh diri. Ternyata pada mereka ditemukan gen bunuh diri. Tampak tak masuk akal, memang. ''Apakah mungkin dalam diri koruptor di Indonesia juga ditemukan gen korupsi? Hemat saya, itu tidak mustahil,'' tulis Abdullah.
28 March 2006
Berani Bercita-cita
Pertengahan 1970-an. Bocah itu masih duduk di kelas dua SD. Dari satu-satunya televisi di kampungnya di Singosari, Malang, ia 'mengenal' anak-anak Barat seusianya. Ia pun membayangkan betapa menyenangkan bermain dengan anak-anak itu. Ia ingin berbincang dengan mereka, menggunakan bahasa mereka. Ia ingin menulis surat pada mereka. Bagaimana caranya? Ia tak tahu. Ia hanya bisa memendam keinginan itu.
Berlalunya tahun mengantarkan anak itu ke bangku SMP, sekolah pertama yang mengenalkannya bahasa Inggris. Tanpa ia sadari, ia begitu antusias dengan pelajaran itu. Bahasa Inggris menjadi pelajaran favoritnya. Apalagi ia mendapat guru yang disebutnya sangat asyik mengajar. Guru yang bukan hanya mencatat di papan tulis serta berbicara di depan kelas, namun sesekali memutarkan kaset lagu-lagu berbahasa Inggris dan meminta murid-muridnya mencatat lirik lagu tersebut. Ia tak pernah melupakan Pak Yono, gurunya itu.
Anak itu segera menjadi terbaik dalam bahasa Inggris di sekolahnya. Ia tidak pernah ikut kursus sekalipun. Tapi, bahasa sama sekali bukan hambatan baginya buat bergiat dan berprestasi di perusahaan multinasional. Tujuh tahun berkarier ia berhasil menjadi direktur dengan jangkauan sembilan negara. Ia bisa duduk sama tinggi dan berinteraksi dengan para eksekutif Barat kawan-kawan kerjanya. Ia bisa lakukan semua itu secara nyaman dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang menjadi keyakinannya. Ia bahkan tetap berjilbab.
Di saat bersama para koleganya, dan menjadi satu-satunya Melayu di tengah kawan-kawan Baratnya, ia acap tersenyum pada diri sendiri. "Waktu kecil saya ingin berteman dengan anak-anak Barat, sekarang terlaksana."
Cerita itu hanyalah salah satu kisah tentang pencapaian manusia yang tertuntun oleh cita-citanya di masa kecil. Ada ribuan bahkan jutaan kisah serupa yang dapat kita gali dari seluruh penjuru dunia. Inti kisah itu adalah sama: obsesi atau cita-cita masa kecil akan mengantarkan pada keberhasilan di masa dewasa.
Kisah semacam itu bertebaran di dunia olahraga. Para penggemar tinju tak akan pernah mendapati Chris John menjadi juara dunia kalau petinju Banjarnegara itu tak terpesona pada ayahnya yang menjadi petinju amatir. Para penggemar sepak bola tak akan pernah mengenal nama Nakata bila ikon sepak bola Jepang itu tak terobsesi dengan tokoh komik Tsubasa. Penggemar catur tak akan mengenal nama Karpov bila seorang Rusia kecil dengan bakat lemah tak nekat menembus hujan-hujan salju buat berlatih lantaran mimpinya menjadi pecatur besar.
Banyak guru, dokter, insinyur, arsitek, seniman, perajin, penulis, pilot, polisi, tentara, diplomat, periset, montir, tukang, akuntan, pemasar, bahkan pebisnis maupun kiai, sukses lantaran cita-citanya di masa kecil. Bagi mereka semua, cita-cita menjadi semacam tonggak yang akan memandu ke mana perlu melangkah. Dengan tonggak pemandu itu langkah menjadi terarah. Selain itu, langkah juga menjadi lebih berenergi lantaran cita-cita memiliki daya dorong luar biasa buat meraih keberhasilan. Bila kita tahu begitu dahsyat peran cita-cita bagi keberhasilan setiap orang, mengapa kita tak menggelorakan cita-cita?
"Gantungkan cita-citamu setinggi langit," begitu nasihat lama mengajari kita. "Berazam-lah (miliki kemauan yang tegas dan jelas), lalu bertawakallah," kata Tuhan yang tersebut dalam Alquran. Tapi, kita cenderung mengabaikannya. Padahal, bercita-cita jelas kunci pertama untuk meraih sukses. Padahal, bercita-cita tak memerlukan modal apa pun. GRATIS. Ketiadaan cita-cita yang membuat kita sulit ke mana-mana. Akibatnya, bangsa ini juga sulit ke mana-mana.
Sekarang saatnya mengakhiri keadaan itu dengan menggelorakan semangat 'berani bercita-cita'. Seluruh bangsa ini harus berani bercita-cita. Semua harus menyeru berani bercita-cita. Saya menyebarkan semangat itu lewat tulisan ini, maupun lewat jaringan Gerakan Masyarakat Sentosa di tingkat akar rumput. Selain itu, tentu setiap orang tua harus membimbing anak-anaknya agar berani bercita-cita; setiap pemimpin harus mengajak rakyatnya berani bercita-cita, setiap politisi mengajak semua pendukungnya berani bercita-cita, setiap ustaz mengajak umatnya berani bercita-cita, juga setiap guru tak berhenti memompa keberanian anak didiknya bercita-cita.
Alangkah dahsyat negeri ini ketika semua guru bertindak demikian hingga setiap anak SD memiliki cita-cita yang jelas sebagaimana murid kelas dua di Singosari, Malang, itu.
Oleh : Zaim Uchrowi (Republika.com)
Berlalunya tahun mengantarkan anak itu ke bangku SMP, sekolah pertama yang mengenalkannya bahasa Inggris. Tanpa ia sadari, ia begitu antusias dengan pelajaran itu. Bahasa Inggris menjadi pelajaran favoritnya. Apalagi ia mendapat guru yang disebutnya sangat asyik mengajar. Guru yang bukan hanya mencatat di papan tulis serta berbicara di depan kelas, namun sesekali memutarkan kaset lagu-lagu berbahasa Inggris dan meminta murid-muridnya mencatat lirik lagu tersebut. Ia tak pernah melupakan Pak Yono, gurunya itu.
Anak itu segera menjadi terbaik dalam bahasa Inggris di sekolahnya. Ia tidak pernah ikut kursus sekalipun. Tapi, bahasa sama sekali bukan hambatan baginya buat bergiat dan berprestasi di perusahaan multinasional. Tujuh tahun berkarier ia berhasil menjadi direktur dengan jangkauan sembilan negara. Ia bisa duduk sama tinggi dan berinteraksi dengan para eksekutif Barat kawan-kawan kerjanya. Ia bisa lakukan semua itu secara nyaman dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang menjadi keyakinannya. Ia bahkan tetap berjilbab.
Di saat bersama para koleganya, dan menjadi satu-satunya Melayu di tengah kawan-kawan Baratnya, ia acap tersenyum pada diri sendiri. "Waktu kecil saya ingin berteman dengan anak-anak Barat, sekarang terlaksana."
Cerita itu hanyalah salah satu kisah tentang pencapaian manusia yang tertuntun oleh cita-citanya di masa kecil. Ada ribuan bahkan jutaan kisah serupa yang dapat kita gali dari seluruh penjuru dunia. Inti kisah itu adalah sama: obsesi atau cita-cita masa kecil akan mengantarkan pada keberhasilan di masa dewasa.
Kisah semacam itu bertebaran di dunia olahraga. Para penggemar tinju tak akan pernah mendapati Chris John menjadi juara dunia kalau petinju Banjarnegara itu tak terpesona pada ayahnya yang menjadi petinju amatir. Para penggemar sepak bola tak akan pernah mengenal nama Nakata bila ikon sepak bola Jepang itu tak terobsesi dengan tokoh komik Tsubasa. Penggemar catur tak akan mengenal nama Karpov bila seorang Rusia kecil dengan bakat lemah tak nekat menembus hujan-hujan salju buat berlatih lantaran mimpinya menjadi pecatur besar.
Banyak guru, dokter, insinyur, arsitek, seniman, perajin, penulis, pilot, polisi, tentara, diplomat, periset, montir, tukang, akuntan, pemasar, bahkan pebisnis maupun kiai, sukses lantaran cita-citanya di masa kecil. Bagi mereka semua, cita-cita menjadi semacam tonggak yang akan memandu ke mana perlu melangkah. Dengan tonggak pemandu itu langkah menjadi terarah. Selain itu, langkah juga menjadi lebih berenergi lantaran cita-cita memiliki daya dorong luar biasa buat meraih keberhasilan. Bila kita tahu begitu dahsyat peran cita-cita bagi keberhasilan setiap orang, mengapa kita tak menggelorakan cita-cita?
"Gantungkan cita-citamu setinggi langit," begitu nasihat lama mengajari kita. "Berazam-lah (miliki kemauan yang tegas dan jelas), lalu bertawakallah," kata Tuhan yang tersebut dalam Alquran. Tapi, kita cenderung mengabaikannya. Padahal, bercita-cita jelas kunci pertama untuk meraih sukses. Padahal, bercita-cita tak memerlukan modal apa pun. GRATIS. Ketiadaan cita-cita yang membuat kita sulit ke mana-mana. Akibatnya, bangsa ini juga sulit ke mana-mana.
Sekarang saatnya mengakhiri keadaan itu dengan menggelorakan semangat 'berani bercita-cita'. Seluruh bangsa ini harus berani bercita-cita. Semua harus menyeru berani bercita-cita. Saya menyebarkan semangat itu lewat tulisan ini, maupun lewat jaringan Gerakan Masyarakat Sentosa di tingkat akar rumput. Selain itu, tentu setiap orang tua harus membimbing anak-anaknya agar berani bercita-cita; setiap pemimpin harus mengajak rakyatnya berani bercita-cita, setiap politisi mengajak semua pendukungnya berani bercita-cita, setiap ustaz mengajak umatnya berani bercita-cita, juga setiap guru tak berhenti memompa keberanian anak didiknya bercita-cita.
Alangkah dahsyat negeri ini ketika semua guru bertindak demikian hingga setiap anak SD memiliki cita-cita yang jelas sebagaimana murid kelas dua di Singosari, Malang, itu.
Oleh : Zaim Uchrowi (Republika.com)
16 March 2006
The Art of Giving
DALAM beberapa tulisan di majalah kesayangan Anda ini, cukup banyak saya menulis tentang pengalaman berbagi atau bersedekah. Dan, dalam bersedekah itu, ada seninya. Secara iseng, saya menyebut ''The Art of Giving''. Cobalah berbagai cara dalam berbagi, dan bisa jadi Anda akan menemukan kebahagiaan kala melakukan aktivitas tersebut.
Di kampung saya tinggal, tersebutlah seorang bidan bernama Eti. Dia termasuk bidan yang disenangi anak saya. Salah satu penyebabnya, bidan ini selalu menyediakan makanan kecil buat anak-anak yang tengah diajak oleh orangtuanya. Ada cokelat, ada biskuit dengan berbagai rupa, ada permen beraneka aroma dan rasa, dan ada pula kue bolu yang diiris-iris kecil. Semua diletakkan di meja tamu.
Rasanya Bidan Eti memahami psikologi anak. Selain itu, setting ruang periksa diatur sedemikian rupa sehingga tidak tampak menyeramkan. Maka, tidak jarang, jika ada orangtua yang memeriksakan diri, si anak tetap ingin diajak. Anak-anak tersebut --termasuk anak saya, Wirda-- ingin mencicipi makanan yang disediakan Bu Bidan.
Pada satu kesempatan mengantar istri saya untuk pemeriksaan pada Bidan Eti, Wirda langsung bilang, "Ikut dong, Pah!"
Mendengar keinginan itu, istri saya kontan menggoda Wirda, "Wuuh, Wirda pengen ikut karena ingin biskuit Bidan Eti, ya...?" Yang diledek tertawa, karena pas dengan harapan dia. Sesampai di tempat praktek bidan itu, Wirda seperti sudah paham. Dia langsung masuk dan menunggu di ruang tamu. Wirda langsung saja mengambil satu demi satu kue-kue tersebut.
Apa yang dilakukan Bidan Eti termasuk seni berbagi. Hanya dengan uang yang tidak begitu banyak, ia membahagiakan tamunya setiap hari.
Sebetulnya, selain Bidan Eti, di tempat tinggal saya di Kampung Ketapang, Kalideres, yang memperlakukan pasien seperti sahabat atau bahkan keluarga sendiri tidak sedikit. Sebut misalnya Bidan Suli, yang dikenal sangat sabar dan berwajah sejuk. Ada pula Bidan Marfu'ah, yang dikenal teliti dan sangat baik kepada pasien.
Semua bidan yang saya sebutkan itu kadang membebaskan sama sekali beberapa pasien dia dari biaya. Apalagi bila yang datang orang kampung yang tidak berduit. Mereka tidak hanya dibebaskan dari membayar biaya pemeriksaan, malah diberi sangu pulang.
Inilah salah satu bentuk ''The Art of Giving''; seni berbagi. Bila Anda, katakanlah, pemilik warung yang ingin laris, cobalah terapkan ilmu seni berbagi ini. Misalnya, Anda sediakan permen-permen kecil untuk anak-anak yang ikut ibunya berbelanja di warung. Hadiah tersebut akan mengesankan si anak, dan akan selalu meminta ibunya berbelanja di warung itu. Dan, pasti dia ingin ikut. Motif dia sederhana: agar dapat permen!
Jadi, kita semua bisa berbagi, dan kadang-kadang tidak perlu besar. Hanya perlu kreasi agar bisa menyenangkan banyak orang. Misalnya, ada seorang ibu yang suka membagi-bagikan makanan. Sekali waktu, dia memasak bubur kacang hijau. Modalnya tidak seberapa. Hanya dengan uang Rp 20.000 sudah tersajikan sepanci bubur kacang hijau.
Kemudian sepanci bubur itu dibagi-bagi menjadi 100 mangkuk kecil. Lalu dia berkeliling memberikan bubur kacang hijau itu kepada anak para tetangga. Dia bilang, "Kalau saya bagikan kepada orangtuanya, mungkin mereka tersinggung. Kok, membagi hanya semangkuk? Makanya, saya bagi pada anak-anak. Saya panggil mereka, lalu saya beri semangkuk kecil bubur kacang hijau lengkap dengan satu iris roti tawar...."
Dengan rasa puas yang dalam, ibu itu melanjutkan ucapannya, "Wah, saya dapat kebahagiaan dari satu keluarga anak tersebut." Benar juga. Secara materi, yang dikeluarkan tidak seberapa, tapi kepuasan dan kebahagiaan yang diperoleh luar biasa.
Rupanya, konsep serupa juga diterapkan sahabat baru saya, Bu Hajah Dedeh. Dia bidan, dokter, sekaligus pemilik Rumah Sakit Bakti Asih di wilayah Cileduk, Tangerang. Setiap Ahad pagi, saya membuka Pengajian Ahad Pagi di Pondok Pesantren Wisatahati di Kampung Bulak Santri, Kelurahan Pondok Pucung, Karang Tengah, Cileduk, Tangerang.
Nah, Bu Hajah Dedeh ini jamaah aktif saya. Saat saya berkesempatan ke rumah sakitnya, subhanallah, saya juga menemukan ''The Art of Giving''. Salah satu yang dia lakukan adalah mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak tidak mampu dan putus sekolah. Sampai saat ini, sudah hampir 200 orang yang belajar di sekolah bebas biaya tersebut.
Saya yakin, Anda pembaca Gatra pun sudah melakukan hal serupa. Dan, apa yang saya tulis hanya sebagai penambah keyakinan dan melapangkan kebahagiaan Anda. Saya berdoa, semoga Anda makin sering berbagi dan yakin pada janji Allah mengenai manfaat bersedekah.
Kembali pada kisah Bidan Eti tadi, sebagaimana Wirda yang senang ikut ibunya, saya pun jadi senang mengantar istri ke Bidan Eti. Dan, sebagaimana kesenangan dulu, saat bersilaturahim ke bidan-bidan lain di kampung, saya juga memetik "sesuatu" dari mereka. Kali ini, melalui Bidan Eti, saya jadi tahu kue lanting dan jipang, makanan khas asal Kebumen, Jawa Tengah, yang terbuat dari singkong.
Sambil menikmati lanting dan jipang, saya mengobrol dengan suami Bidan Eti. "Ini termasuk sedekah." Sedekah makanan yang bisa membuahkan senyuman anak-anak dan para orangtua. Ketika kami pamit, suami Bidan Eti malah menyuruh Wirda mengambil lanting dan makanan lain untuk dibawa pulang. Wah, alhamdulillah....
Oleh Yusuf Mansur (Gatra.com)
Di kampung saya tinggal, tersebutlah seorang bidan bernama Eti. Dia termasuk bidan yang disenangi anak saya. Salah satu penyebabnya, bidan ini selalu menyediakan makanan kecil buat anak-anak yang tengah diajak oleh orangtuanya. Ada cokelat, ada biskuit dengan berbagai rupa, ada permen beraneka aroma dan rasa, dan ada pula kue bolu yang diiris-iris kecil. Semua diletakkan di meja tamu.
Rasanya Bidan Eti memahami psikologi anak. Selain itu, setting ruang periksa diatur sedemikian rupa sehingga tidak tampak menyeramkan. Maka, tidak jarang, jika ada orangtua yang memeriksakan diri, si anak tetap ingin diajak. Anak-anak tersebut --termasuk anak saya, Wirda-- ingin mencicipi makanan yang disediakan Bu Bidan.
Pada satu kesempatan mengantar istri saya untuk pemeriksaan pada Bidan Eti, Wirda langsung bilang, "Ikut dong, Pah!"
Mendengar keinginan itu, istri saya kontan menggoda Wirda, "Wuuh, Wirda pengen ikut karena ingin biskuit Bidan Eti, ya...?" Yang diledek tertawa, karena pas dengan harapan dia. Sesampai di tempat praktek bidan itu, Wirda seperti sudah paham. Dia langsung masuk dan menunggu di ruang tamu. Wirda langsung saja mengambil satu demi satu kue-kue tersebut.
Apa yang dilakukan Bidan Eti termasuk seni berbagi. Hanya dengan uang yang tidak begitu banyak, ia membahagiakan tamunya setiap hari.
Sebetulnya, selain Bidan Eti, di tempat tinggal saya di Kampung Ketapang, Kalideres, yang memperlakukan pasien seperti sahabat atau bahkan keluarga sendiri tidak sedikit. Sebut misalnya Bidan Suli, yang dikenal sangat sabar dan berwajah sejuk. Ada pula Bidan Marfu'ah, yang dikenal teliti dan sangat baik kepada pasien.
Semua bidan yang saya sebutkan itu kadang membebaskan sama sekali beberapa pasien dia dari biaya. Apalagi bila yang datang orang kampung yang tidak berduit. Mereka tidak hanya dibebaskan dari membayar biaya pemeriksaan, malah diberi sangu pulang.
Inilah salah satu bentuk ''The Art of Giving''; seni berbagi. Bila Anda, katakanlah, pemilik warung yang ingin laris, cobalah terapkan ilmu seni berbagi ini. Misalnya, Anda sediakan permen-permen kecil untuk anak-anak yang ikut ibunya berbelanja di warung. Hadiah tersebut akan mengesankan si anak, dan akan selalu meminta ibunya berbelanja di warung itu. Dan, pasti dia ingin ikut. Motif dia sederhana: agar dapat permen!
Jadi, kita semua bisa berbagi, dan kadang-kadang tidak perlu besar. Hanya perlu kreasi agar bisa menyenangkan banyak orang. Misalnya, ada seorang ibu yang suka membagi-bagikan makanan. Sekali waktu, dia memasak bubur kacang hijau. Modalnya tidak seberapa. Hanya dengan uang Rp 20.000 sudah tersajikan sepanci bubur kacang hijau.
Kemudian sepanci bubur itu dibagi-bagi menjadi 100 mangkuk kecil. Lalu dia berkeliling memberikan bubur kacang hijau itu kepada anak para tetangga. Dia bilang, "Kalau saya bagikan kepada orangtuanya, mungkin mereka tersinggung. Kok, membagi hanya semangkuk? Makanya, saya bagi pada anak-anak. Saya panggil mereka, lalu saya beri semangkuk kecil bubur kacang hijau lengkap dengan satu iris roti tawar...."
Dengan rasa puas yang dalam, ibu itu melanjutkan ucapannya, "Wah, saya dapat kebahagiaan dari satu keluarga anak tersebut." Benar juga. Secara materi, yang dikeluarkan tidak seberapa, tapi kepuasan dan kebahagiaan yang diperoleh luar biasa.
Rupanya, konsep serupa juga diterapkan sahabat baru saya, Bu Hajah Dedeh. Dia bidan, dokter, sekaligus pemilik Rumah Sakit Bakti Asih di wilayah Cileduk, Tangerang. Setiap Ahad pagi, saya membuka Pengajian Ahad Pagi di Pondok Pesantren Wisatahati di Kampung Bulak Santri, Kelurahan Pondok Pucung, Karang Tengah, Cileduk, Tangerang.
Nah, Bu Hajah Dedeh ini jamaah aktif saya. Saat saya berkesempatan ke rumah sakitnya, subhanallah, saya juga menemukan ''The Art of Giving''. Salah satu yang dia lakukan adalah mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak tidak mampu dan putus sekolah. Sampai saat ini, sudah hampir 200 orang yang belajar di sekolah bebas biaya tersebut.
Saya yakin, Anda pembaca Gatra pun sudah melakukan hal serupa. Dan, apa yang saya tulis hanya sebagai penambah keyakinan dan melapangkan kebahagiaan Anda. Saya berdoa, semoga Anda makin sering berbagi dan yakin pada janji Allah mengenai manfaat bersedekah.
Kembali pada kisah Bidan Eti tadi, sebagaimana Wirda yang senang ikut ibunya, saya pun jadi senang mengantar istri ke Bidan Eti. Dan, sebagaimana kesenangan dulu, saat bersilaturahim ke bidan-bidan lain di kampung, saya juga memetik "sesuatu" dari mereka. Kali ini, melalui Bidan Eti, saya jadi tahu kue lanting dan jipang, makanan khas asal Kebumen, Jawa Tengah, yang terbuat dari singkong.
Sambil menikmati lanting dan jipang, saya mengobrol dengan suami Bidan Eti. "Ini termasuk sedekah." Sedekah makanan yang bisa membuahkan senyuman anak-anak dan para orangtua. Ketika kami pamit, suami Bidan Eti malah menyuruh Wirda mengambil lanting dan makanan lain untuk dibawa pulang. Wah, alhamdulillah....
Oleh Yusuf Mansur (Gatra.com)
10 March 2006
Bantul
''JANGAN cepat hakimi seseorang!'' kata Presiden SBY di Brunei Darussalam, Selasa pekan lalu, mengomentari pemberitaan ihwal surat Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi yang diduga berbau KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Katebelece itu muncul dalam kaitan renovasi gedung Kedutaan Besar RI di Seoul, Korea Selatan.
SBY pun mengajak masyarakat lebih waspada dan cermat, agar tidak gampang menuduh. Namun, sejalan dengan tekad pemerintah yang bersih, transparan, dan responsif, kasus itu perlu dijelaskan kepada publik. Maklum, ada yang menyebut surat itu dipalsukan.
Tanggapan pun beragam. Dan, seperti yang sudah-sudah, bisa saja muncul kambing hitam. Bisa pula menimbulkan fitnah. Maklum, hidup di zaman materialistis. Segalanya dikalkulasikan secara dagang. Orang menyuap pasti berharap pukulan besar.
Soal fitnah, Bupati Bantul H.M. Idham Samawi yang menerima penghargaan PWI Award 2005, dua pekan lalu --baru disampaikan agar tak mempengaruhi proses pilkada-- juga pernah mengalami. Menjelang pemilihan itu, beredar ribuan fotokopi tuduhan belasan kasus Idham yang korup. Di bawah pintu rumah warga pun diselipi.
Idham tenang karena tak pernah merasa merugikan keuangan negara. Ia hanya membuat kebijakan dengan memangkas kerumitan birokrasi. Apalagi, sebelum mengeluarkan kebijakan itu, ia mengonsultasikan pada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jawab atasannya: ''Oke. Jalankan!''
Akhirnya, becik ketitik olo ketoro, yang benar akan ketahuan sendiri. Ia dinyatakan tak bersalah. Pada pilkada medio 2005, rakyat (73%) mutlak menghendaki dia jadi bupati kedua kali. ''Alhamdulillah,'' kata Idham, yang lahir dan dibesarkan di lingkungan pers.
Idham bertekad mewujudkan manusia Bantul yang cerdas, berakhlak mulia, dan berkepribadian. Kuncinya pendidikan. Lalu dikisahkan tentang gurunya yang ke Malaysia untuk mengajar. Kala guru itu pamit, Idham dan seluruh teman dia di kelas V SD menangis. Air mata Pak Guru itu pun tak terbendung.
Malaysia yang peduli pendidikan merekrut guru Indonesia. Kini, gambaran itu terbalik. ''Kita ke sana untuk jadi batur,'' katanya. Batur adalah pembantu rumah tangga. Nyesek, memang.
Itu yang membuat Idham peduli pada pendidikan. Seluruh SD di Bantul dilengkapi perpustakaan. Belum lama ini, misalnya, ia memborong buku senilai Rp 20 juta untuk mengisi perpustakaan. Dananya? ''Dana taktis saya,'' kata Idham, yang mencanangkan seluruh kepala sekolah berpendidikan S-2.
Keprihatinan lain adalah anak-anak sekarang yang kurang cinta pada budaya bangsa. Simak saja murid-murid yang lebih paham SpongeBob ketimbang Sultan Agung. ''Pasukan Sultan Agung ke Batavia berjalan 91 hari untuk melawan Belanda. Kini, anak-anak naik bus sembilan jam untuk ke Dunia Fantasi Ancol,'' katanya.
Jadi, mereka perlu diarahkan agar cinta seni, budaya, dan Tanah Air. Cinta bisa melahirkan orang yang berjiwa jenius. Sumber daya manusianya pun ditingkatkan. Caranya? Murid-murid SD diberi tiga ekor ayam, dan telurnya dikonsumsi oleh mereka. ''Usia nol sampai 12 tahun itu perlu gizi tambahan,'' kata Idham.
Selain itu, secara pelan-pelan keberadaan sekolah di Bantul (70% SMA dan 30% SMK) komposisinya akan diubah jadi sebaliknya. Sebab, faktanya, lulusan SMA hanya 10% yang ke perguruan tinggi, sisanya menganggur. Ini beban berat. ''Kami harus menciptakan lapangan kerja,'' ujarnya.
Kabupaten seluas 508,85 kilometer persegi dan berpenduduk 790.000 jiwa itu memiliki areal sawah 33%. Maka, sektor pertanian pun dibenahi. Produksi padi harus melebihi produk nasional rata-rata 5 ton per hektare. Caranya? ''Kami kerja sama dengan UGM untuk menciptakan bibit unggul yang cocok bagi Bantul,'' kata Idham.
Berhasil. Produksi padi Bantul meningkat menjadi 7,2-9 ton per hektare. Efek intensifikasi ini adalah, ''Tiap kenaikan 1,5 ton padi itu menyerap satu tenaga kerja,'' katanya.
Produk kerajinan Bantul yang bernilai ekspor 60% lebih dari total ekspor DIY juga dioptimalkan. Agar bisa memangkas mata rantai pengangkutan, truk kontainer boleh memasuki sentra kerajinan di pedesaan. Jika jalan desa jadi rusak? Jawab Idham kalem, ''Ya, dibetulkan.'' Kebijakan ini didukung kapolres dan aparat terkait.
Pokoknya, wong cilik harus sejahtera. Hingga detik ini, Idham tak mengizinkan mal. Alasannya, pusat perbelanjaan itu justru akan memukul pasar tradisional dan toko kecil. Mengapa harus ikut-ikutan bikin mal, ''Sementara di Amerika dan Eropa malah kembali ke pasar tradisional,'' tuturnya.
Idham mengaku pernah diiming-imingi 10% saham kosong jika mal diizinkan di Bantul. Jika nilai investasinya Rp 150 milyar, berapa duit yang masuk kantong? Namun ia tak tergiur. Rakyat bukan sapi perah. Derap irama hidup harus dinikmati dan diresapi, tapi bukan untuk beraji mumpung.
Beberapa waktu lalu, kala harga cabe anjlok mencapai Rp 900-Rp 1.000 per kilogram, Idham langsung mengoperasi pasar. Lebih dari 1,5 ton cabe diborong. Kontan, harga cabe melesat hingga Rp 1.700 per kilo. ''Pemkab Bantul tidak berniat berdagang, tapi menolong petani,'' kata Idham, yang cuma punya tiga baju batik itu.
Demokrasi ditumbuhkan. ''Bohong ada demokrasi jika tanpa komunikasi,'' katanya. Untuk itu, ia tidak alergi kritik. Ia doyan ngumpul, mendengarkan suara dan keluhan rakyat. Emblem bupati acap ditanggalkan agar tak menciptakan jarak dengan wong cilik.
Bahkan, ''tradisi'' naik sepeda atau motor harus menuntun kendaraannya saat memasuki halaman kabupaten ditiadakan. Larangan parkir mobil dengan pantat membelakangi pendopo pun dihapuskan. ''Parkir dengan kepala mobil di atas pun silakan, kalau bisa,'' kata Idham sembari tertawa. Bantul memang lain!
Oleh Widi Yarmanto (Gatra.com)
SBY pun mengajak masyarakat lebih waspada dan cermat, agar tidak gampang menuduh. Namun, sejalan dengan tekad pemerintah yang bersih, transparan, dan responsif, kasus itu perlu dijelaskan kepada publik. Maklum, ada yang menyebut surat itu dipalsukan.
Tanggapan pun beragam. Dan, seperti yang sudah-sudah, bisa saja muncul kambing hitam. Bisa pula menimbulkan fitnah. Maklum, hidup di zaman materialistis. Segalanya dikalkulasikan secara dagang. Orang menyuap pasti berharap pukulan besar.
Soal fitnah, Bupati Bantul H.M. Idham Samawi yang menerima penghargaan PWI Award 2005, dua pekan lalu --baru disampaikan agar tak mempengaruhi proses pilkada-- juga pernah mengalami. Menjelang pemilihan itu, beredar ribuan fotokopi tuduhan belasan kasus Idham yang korup. Di bawah pintu rumah warga pun diselipi.
Idham tenang karena tak pernah merasa merugikan keuangan negara. Ia hanya membuat kebijakan dengan memangkas kerumitan birokrasi. Apalagi, sebelum mengeluarkan kebijakan itu, ia mengonsultasikan pada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jawab atasannya: ''Oke. Jalankan!''
Akhirnya, becik ketitik olo ketoro, yang benar akan ketahuan sendiri. Ia dinyatakan tak bersalah. Pada pilkada medio 2005, rakyat (73%) mutlak menghendaki dia jadi bupati kedua kali. ''Alhamdulillah,'' kata Idham, yang lahir dan dibesarkan di lingkungan pers.
Idham bertekad mewujudkan manusia Bantul yang cerdas, berakhlak mulia, dan berkepribadian. Kuncinya pendidikan. Lalu dikisahkan tentang gurunya yang ke Malaysia untuk mengajar. Kala guru itu pamit, Idham dan seluruh teman dia di kelas V SD menangis. Air mata Pak Guru itu pun tak terbendung.
Malaysia yang peduli pendidikan merekrut guru Indonesia. Kini, gambaran itu terbalik. ''Kita ke sana untuk jadi batur,'' katanya. Batur adalah pembantu rumah tangga. Nyesek, memang.
Itu yang membuat Idham peduli pada pendidikan. Seluruh SD di Bantul dilengkapi perpustakaan. Belum lama ini, misalnya, ia memborong buku senilai Rp 20 juta untuk mengisi perpustakaan. Dananya? ''Dana taktis saya,'' kata Idham, yang mencanangkan seluruh kepala sekolah berpendidikan S-2.
Keprihatinan lain adalah anak-anak sekarang yang kurang cinta pada budaya bangsa. Simak saja murid-murid yang lebih paham SpongeBob ketimbang Sultan Agung. ''Pasukan Sultan Agung ke Batavia berjalan 91 hari untuk melawan Belanda. Kini, anak-anak naik bus sembilan jam untuk ke Dunia Fantasi Ancol,'' katanya.
Jadi, mereka perlu diarahkan agar cinta seni, budaya, dan Tanah Air. Cinta bisa melahirkan orang yang berjiwa jenius. Sumber daya manusianya pun ditingkatkan. Caranya? Murid-murid SD diberi tiga ekor ayam, dan telurnya dikonsumsi oleh mereka. ''Usia nol sampai 12 tahun itu perlu gizi tambahan,'' kata Idham.
Selain itu, secara pelan-pelan keberadaan sekolah di Bantul (70% SMA dan 30% SMK) komposisinya akan diubah jadi sebaliknya. Sebab, faktanya, lulusan SMA hanya 10% yang ke perguruan tinggi, sisanya menganggur. Ini beban berat. ''Kami harus menciptakan lapangan kerja,'' ujarnya.
Kabupaten seluas 508,85 kilometer persegi dan berpenduduk 790.000 jiwa itu memiliki areal sawah 33%. Maka, sektor pertanian pun dibenahi. Produksi padi harus melebihi produk nasional rata-rata 5 ton per hektare. Caranya? ''Kami kerja sama dengan UGM untuk menciptakan bibit unggul yang cocok bagi Bantul,'' kata Idham.
Berhasil. Produksi padi Bantul meningkat menjadi 7,2-9 ton per hektare. Efek intensifikasi ini adalah, ''Tiap kenaikan 1,5 ton padi itu menyerap satu tenaga kerja,'' katanya.
Produk kerajinan Bantul yang bernilai ekspor 60% lebih dari total ekspor DIY juga dioptimalkan. Agar bisa memangkas mata rantai pengangkutan, truk kontainer boleh memasuki sentra kerajinan di pedesaan. Jika jalan desa jadi rusak? Jawab Idham kalem, ''Ya, dibetulkan.'' Kebijakan ini didukung kapolres dan aparat terkait.
Pokoknya, wong cilik harus sejahtera. Hingga detik ini, Idham tak mengizinkan mal. Alasannya, pusat perbelanjaan itu justru akan memukul pasar tradisional dan toko kecil. Mengapa harus ikut-ikutan bikin mal, ''Sementara di Amerika dan Eropa malah kembali ke pasar tradisional,'' tuturnya.
Idham mengaku pernah diiming-imingi 10% saham kosong jika mal diizinkan di Bantul. Jika nilai investasinya Rp 150 milyar, berapa duit yang masuk kantong? Namun ia tak tergiur. Rakyat bukan sapi perah. Derap irama hidup harus dinikmati dan diresapi, tapi bukan untuk beraji mumpung.
Beberapa waktu lalu, kala harga cabe anjlok mencapai Rp 900-Rp 1.000 per kilogram, Idham langsung mengoperasi pasar. Lebih dari 1,5 ton cabe diborong. Kontan, harga cabe melesat hingga Rp 1.700 per kilo. ''Pemkab Bantul tidak berniat berdagang, tapi menolong petani,'' kata Idham, yang cuma punya tiga baju batik itu.
Demokrasi ditumbuhkan. ''Bohong ada demokrasi jika tanpa komunikasi,'' katanya. Untuk itu, ia tidak alergi kritik. Ia doyan ngumpul, mendengarkan suara dan keluhan rakyat. Emblem bupati acap ditanggalkan agar tak menciptakan jarak dengan wong cilik.
Bahkan, ''tradisi'' naik sepeda atau motor harus menuntun kendaraannya saat memasuki halaman kabupaten ditiadakan. Larangan parkir mobil dengan pantat membelakangi pendopo pun dihapuskan. ''Parkir dengan kepala mobil di atas pun silakan, kalau bisa,'' kata Idham sembari tertawa. Bantul memang lain!
Oleh Widi Yarmanto (Gatra.com)
09 March 2006
Rezeki Kagetan
KENAPA manusia sulit berbagi? Mengapa manusia sulit bersedekah? Salah satu jawabannya, mungkin karena dia berpikir dengan matematika pengurangan. Maksudnya, kalau dia berbagi, maka miliknya bakal berkurang. Atau, barangkali dia selalu melihat kekurangannya. Dalam pengertian dia --diperkuat omongan orang lain-- diri sendiri saja masih kekurangan, bagaimana mau dibagikan pada orang lain?
Maka, banyak orang berpikir (menunggu harta cukup dulu) baru kemudian berjanji untuk berbagi. Faktanya malah tidak pernah kecukupan. Penyebabnya, karena tidak kunjung berbagi. Padahal, kata Allah, kalau mau dicukupkan rezeki, harus bersedia untuk berbagi. Dan, kenyataannya pula, banyak orang yang kehidupannya telah membaik, kekikirannya tetap saja melekat. Akhirnya kehidupan dia berubah lagi menjadi selalu diliputi kekurangan.
Pada sebagian dari Anda yang "merasa" sudah cukup berderma, cobalah perhatikan jumlahnya. Jangan-jangan apa yang Anda dermakan ketika jaya masih sama rupiahnya kala ekonomi belum membaik. Misal, dulu ketika memulai usaha punya satu anak asuh. Kemudian setelah jaya, jumlah anak asuh itu tidak bertambah. Ini pun akan berpengaruh pada kualitas keberkahan.
Tersebutlah seorang sopir yang menemui seorang ustad. Dia mengadukan tentang pendapatannya yang tidak pernah kunjung cukup. Dia kini memiliki lima anak, tapi penghasilannya dari dulu (sejak belum punya anak) hingga sekarang tidak beranjak. Kalaupun ada pertumbuhan, jumlahnya tidak seberapa.
"Gaji Bapak sekarang berapa?" tanya Ustad.
"Rp 800.000," jawab dia datar.
"Rp 800.000 itu sudah besar, lho, Pak." Ustad mengingatkan dengan ucapan, "Sudah bersyukur belum?"
"Sudah, Ustad. Ini juga kalau nggak bersyukur, nggak tahu, dah."
Sang sopir kemudian menceritakan bahwa selama ini dia selalu melihat "ke bawah". Dia bersyukur masih bisa bekerja, sedangkan banyak rekannya yang tidak memiliki pekerjaan lagi. Dia bekerja di ruangan ber-AC, setidaknya selama menyetiri mobil majikan. Sementara kawan-kawan lain tidak sedikit yang menjadi kuli bangunan. Kulit mereka hitam legam terpanggang panas matahari.
"Hati saya jadi adem, Ustad. Setidaknya saya cukup jauh dari mengeluh. Hanya kemari- mariin, saya bingung juga. Sebab akhirnya, biar bagaimana, gaji saya tetap tidak mencukupi. Padahal, anak bertambah besar, Ustad."
Menghadapi keluhan tersebut, Ustad pun menjelaskan bahwa jika bentuk rasa syukur itu tidak diwujudkan dalam sebuah aksi berbagi, maka, maaf, "Belum menghasilkan perubahan." Apa yang sudah dilakukan oleh si sopir dengan menata hati dan bisa mensyukuri hidup sudah tepat. Hasilnya adalah sebuah kedamaian hati. Ketenteraman. "Tapi, kalau mau lebih dahsyat, cobalah Bapak berbagi. Sebagai wujud syukur yang lain."
Wajah sopir itu berubah sedikit. Ustad itu memahami bahwa di balik benak orang yang ada di hadapannya --juga dimiliki orang banyak-- tidak sependapat dengan nasihat yang barusan disampaikan. Bagaimana mungkin dibagikan jika yang ada saja untuk kebutuhan sendiri masih kurang?
"Pak, Bapak kan belum jajal ikhtiar mencukupkan kebutuhan dengan jalan bersedekah? Coba dah di-jajal. Keluarkanlah sedekah. Insya Allah, Allah akan mencukupkan kebutuhan Bapak," ujar Ustad.
Urusan bantu-membantu orang, yang direfleksikan dengan bersedekah, menjadi sebuah keharusan. Artinya, siapa pun yang membutuhkan bantuan Allah, pertolongan Allah, dan kemudahan dari Allah, maka berbagi menjadi sebuah keharusan baginya. "Allah akan membantu hamba-Nya jika hamba-Nya ini mau membantu yang lain. Wallaahu fii 'awnil 'abdi, maa kaanal 'abdu fii 'awni akhiihi."
Sepulang dari kunjungan tersebut, sopir itu pun menyedekahkan uangnya seratus ribu rupiah. Dia mengurangi penghasilannya dengan berderma. Matematika yang terjadi, duit dia semakin kurang. Namun kenyataannya tidak demikian. Pada pekan depannya, sopir ini diajak majikannya ke luar kota untuk sebuah urusan bisnis. Upaya ini membuahkan hasil. Si sopir kebagian rezeki kagetan dari majikan sebesar Rp 1 juta. Kisah ini mirip dengan cerita showroom pinggir jalan pada Gatra edisi minggu lalu.
Akhirnya, sopir ini memetik pelajaran dari bersedekah, sebagaimana kita juga --mudah-mudahan-- bisa menimba kisah tersebut. Bahwa kalau rezeki mau dicukupkan oleh Allah, kita harus mau berbagi. Dengan jalan berbagi, dengan cara bersedekah, inilah yang bakal membuat rezeki kita dicukupkan oleh Allah.
Sementara itu, pada saat yang sama, sebagian dari kita malah menempuh langkah tidak terpuji yang justru menambah hartanya makin berkurang. Misalnya dengan cara korupsi, mencuri, menipu, mengadali, dan mencari rezeki haram yang tidak diridoi Allah.
Tampaknya, sekali lagi, demi melihat kekurangan kita, kesulitan kita, langkah berbagi atau bersedekah menjadi layak untuk lebih diperhatikan. Mudah-mudahan Allah memberi kemudahan bagi setiap kesulitan kita, dan menganugerahkan kecukupan bagi beragam kekurangan yang kita rasakan.
Oleh Yusuf Mansur (Gatra.com)
Maka, banyak orang berpikir (menunggu harta cukup dulu) baru kemudian berjanji untuk berbagi. Faktanya malah tidak pernah kecukupan. Penyebabnya, karena tidak kunjung berbagi. Padahal, kata Allah, kalau mau dicukupkan rezeki, harus bersedia untuk berbagi. Dan, kenyataannya pula, banyak orang yang kehidupannya telah membaik, kekikirannya tetap saja melekat. Akhirnya kehidupan dia berubah lagi menjadi selalu diliputi kekurangan.
Pada sebagian dari Anda yang "merasa" sudah cukup berderma, cobalah perhatikan jumlahnya. Jangan-jangan apa yang Anda dermakan ketika jaya masih sama rupiahnya kala ekonomi belum membaik. Misal, dulu ketika memulai usaha punya satu anak asuh. Kemudian setelah jaya, jumlah anak asuh itu tidak bertambah. Ini pun akan berpengaruh pada kualitas keberkahan.
Tersebutlah seorang sopir yang menemui seorang ustad. Dia mengadukan tentang pendapatannya yang tidak pernah kunjung cukup. Dia kini memiliki lima anak, tapi penghasilannya dari dulu (sejak belum punya anak) hingga sekarang tidak beranjak. Kalaupun ada pertumbuhan, jumlahnya tidak seberapa.
"Gaji Bapak sekarang berapa?" tanya Ustad.
"Rp 800.000," jawab dia datar.
"Rp 800.000 itu sudah besar, lho, Pak." Ustad mengingatkan dengan ucapan, "Sudah bersyukur belum?"
"Sudah, Ustad. Ini juga kalau nggak bersyukur, nggak tahu, dah."
Sang sopir kemudian menceritakan bahwa selama ini dia selalu melihat "ke bawah". Dia bersyukur masih bisa bekerja, sedangkan banyak rekannya yang tidak memiliki pekerjaan lagi. Dia bekerja di ruangan ber-AC, setidaknya selama menyetiri mobil majikan. Sementara kawan-kawan lain tidak sedikit yang menjadi kuli bangunan. Kulit mereka hitam legam terpanggang panas matahari.
"Hati saya jadi adem, Ustad. Setidaknya saya cukup jauh dari mengeluh. Hanya kemari- mariin, saya bingung juga. Sebab akhirnya, biar bagaimana, gaji saya tetap tidak mencukupi. Padahal, anak bertambah besar, Ustad."
Menghadapi keluhan tersebut, Ustad pun menjelaskan bahwa jika bentuk rasa syukur itu tidak diwujudkan dalam sebuah aksi berbagi, maka, maaf, "Belum menghasilkan perubahan." Apa yang sudah dilakukan oleh si sopir dengan menata hati dan bisa mensyukuri hidup sudah tepat. Hasilnya adalah sebuah kedamaian hati. Ketenteraman. "Tapi, kalau mau lebih dahsyat, cobalah Bapak berbagi. Sebagai wujud syukur yang lain."
Wajah sopir itu berubah sedikit. Ustad itu memahami bahwa di balik benak orang yang ada di hadapannya --juga dimiliki orang banyak-- tidak sependapat dengan nasihat yang barusan disampaikan. Bagaimana mungkin dibagikan jika yang ada saja untuk kebutuhan sendiri masih kurang?
"Pak, Bapak kan belum jajal ikhtiar mencukupkan kebutuhan dengan jalan bersedekah? Coba dah di-jajal. Keluarkanlah sedekah. Insya Allah, Allah akan mencukupkan kebutuhan Bapak," ujar Ustad.
Urusan bantu-membantu orang, yang direfleksikan dengan bersedekah, menjadi sebuah keharusan. Artinya, siapa pun yang membutuhkan bantuan Allah, pertolongan Allah, dan kemudahan dari Allah, maka berbagi menjadi sebuah keharusan baginya. "Allah akan membantu hamba-Nya jika hamba-Nya ini mau membantu yang lain. Wallaahu fii 'awnil 'abdi, maa kaanal 'abdu fii 'awni akhiihi."
Sepulang dari kunjungan tersebut, sopir itu pun menyedekahkan uangnya seratus ribu rupiah. Dia mengurangi penghasilannya dengan berderma. Matematika yang terjadi, duit dia semakin kurang. Namun kenyataannya tidak demikian. Pada pekan depannya, sopir ini diajak majikannya ke luar kota untuk sebuah urusan bisnis. Upaya ini membuahkan hasil. Si sopir kebagian rezeki kagetan dari majikan sebesar Rp 1 juta. Kisah ini mirip dengan cerita showroom pinggir jalan pada Gatra edisi minggu lalu.
Akhirnya, sopir ini memetik pelajaran dari bersedekah, sebagaimana kita juga --mudah-mudahan-- bisa menimba kisah tersebut. Bahwa kalau rezeki mau dicukupkan oleh Allah, kita harus mau berbagi. Dengan jalan berbagi, dengan cara bersedekah, inilah yang bakal membuat rezeki kita dicukupkan oleh Allah.
Sementara itu, pada saat yang sama, sebagian dari kita malah menempuh langkah tidak terpuji yang justru menambah hartanya makin berkurang. Misalnya dengan cara korupsi, mencuri, menipu, mengadali, dan mencari rezeki haram yang tidak diridoi Allah.
Tampaknya, sekali lagi, demi melihat kekurangan kita, kesulitan kita, langkah berbagi atau bersedekah menjadi layak untuk lebih diperhatikan. Mudah-mudahan Allah memberi kemudahan bagi setiap kesulitan kita, dan menganugerahkan kecukupan bagi beragam kekurangan yang kita rasakan.
Oleh Yusuf Mansur (Gatra.com)
21 February 2006
Berbagi
"KALAU mau bertambah, cobalah Karta berbagi...." Suara Haji Muhidin itu terngiang terus di telinga Karta, seorang penjual ikan di Pasar Jembatan Lima, Kota, Jakarta.
Karta mengadu pada Haji Muhidin bahwa penghasilannya tidak pernah cukup. Dagangan dia bukannya tidak laku. Tapi dia terbentur pada modalnya yang kecil, sehingga perolehan keuntungan pun sedikit. Itu sebabnya, Karta mendatangi Haji Muhidin untuk meminta nasihat agar ada yang memberi tambahan modal.
"Karta, perkara nambah modal mah gampang. Asal Karta bersyukur, penghasilan pasti ditambah. Bahkan kadang enggak perlu modal tambahan. Kan, perkara rezeki bertambah, perkara syukur. Kata Allah, kalau kita bersyukur, maka akan ditambahi dengan segala nikmat."
"Pak Haji, gimana rezeki mau nambah, wong modalnya udah ketaker. Segitu-gitunya. Dagangan habis ampe pol juga, ya, hanya sekian yang saya bawa pulang...," kata Karta dengan nada rada putus asa.
"Allah Maha Memberi Rezeki, Karta. Kalau Allah sudah mau menambah rezeki bagi kita, dari mana saja jalannya, pasti ada. Ini juga perkara tauhid, Karta. Rezeki Karta tuh bukan dari dagangan ikan, tapi dari Allah," ujar Haji Muhidin.
Lama Karta berbicara dengan Haji Muhidin tentang peruntungan dagangan dia, hingga ada satu nasihat Haji Muhidin yang tetap melekat di otak, "Kalau mau bertambah, cobalah berbagi...".
Sejujurnya, Karta tidak terlalu paham. Tidak berbagi saja sudah kurang, apalagi harus berbagi? "Apa tidak makin kurang...?" Sungguhpun Haji Muhidin meyakinkan dengan firman Allah bahwa siapa yang berbuat satu kebaikan, Allah akan mengganti 10 kali lipat lebih banyak, Karta masih belum tergugah.
Pagi itu, anaknya bercerita pada Karta, sebelum dia berjualan ke pasar. "Pak, ada temen saya yang enggak bisa bayaran sekolah. Bapaknya udah enggak ada. Katanya, dia mau berhenti."
Di saat itulah Karta teringat nasihat Haji Muhidin yang lain, yang mengatakan, "Kalau mau ditolong Allah, tolonglah hamba-Nya yang sedang kesusahan."
Seketika itu pula Karta seperti diingatkan, lalu bilang pada anaknya, "Bilangin sama kawan kamu itu, Bapak aja yang jadi bapaknya." Anaknya girang. "Oke, Pak. Saya akan bilangin dia. Dia pasti senang, tuh!"
Sambil memberi uang saku pada anaknya, Karta juga memberi tambahan Rp 5.000 pada si anak.
"Buat saya nih, Pak? Tambahan?"
"Bukan. Itu buat kawan kamu. Kan kamu udah, sepuluh ribu."
"Oh, kirain buat saya," ujar anaknya sembari tertawa kecil. "Baik Pak, akan saya berikan pada dia."
Karta beristigfar. Bersyukur, itulah yang dia lakukan. Anaknya masih punya diri dia sebagai bapak. Dan ia masih memiliki anak sebagai anaknya. Hari ini ia bisa membahagiakan orang. Inilah yang ia syukuri. Benar juga Haji Muhidin, jika mau bertambah rezeki, harus bisa bersyukur dulu. "Berbagi dan bersedekah adalah salah satu wujud dari bersyukur," kata Haji Muhidin, waktu itu.
Karta tersenyum. Lalu ia berharap, "Mudah-mudahan ada yang memodali saya. Buat memperbesar dagangan." Menjelang lohor, dagangan Karta sudah habis. Selama ini ia berdagang memang hanya sampai siang, dan setelah itu pulang.
Nah, hari itu, menjelang pulang, ada kawan Karta yang menghampiri. "Karta, saya pinjam motormu dulu, ya...."
Karta meminjamkan motornya, sambil berpesan, "Jangan lama-lama, ya. Saya udah mau pulang."
Sekitar 15 menit, kawan itu kembali dan memulangkan motor Karta. "Karta, makasih, ya. Ini kuncinya, ini STNK-nya, dan ini buat ganti bensin," ujar si teman. Karta tertegun. Dia diberi uang Rp 100.000, yang katanya buat ganti bensin. "Allah Mahabenar Janji-Nya".
Karta ingat, tadi pagi ia berniat menanggung biaya pendidikan kawan anaknya, dan memberi uang saku pada dia Rp 5.000. Siang ini Allah membalas dengan Rp 100.000. Bagi Karta, rezeki ini bukan dari si peminjam motor, melainkan dari Allah.
Akhirnya Karta memahami bahwa cara Allah memberi tambahan rezeki dari banyak jalan. Dan, ternyata pula, rezeki itu tidak harus dicari-cari dengan menambahi modal dulu. Cukup dengan diawali bersyukur, berbagi, bersedekah, maka rezeki bisa bertambah.
Kejadian siang itu memberi pelajaran baru pada Karta. Memang, otak terkadang dipenjarakan dengan hitung-hitungan kita sendiri bahwa kalau mau untung harus begini harus begitu. Termasuk dengan menambah jumlah modal. Banyak manusia yang lupa atau tidak tahu --termasuk Karta- untuk menemukan jalan bersyukur lebih dahulu, supaya Allah, Yang Maha Memberi Nikmat, menambah perbendaharaan rezeki buat kita.
Oleh Yusuf Mansur (Gatra.Com)
Karta mengadu pada Haji Muhidin bahwa penghasilannya tidak pernah cukup. Dagangan dia bukannya tidak laku. Tapi dia terbentur pada modalnya yang kecil, sehingga perolehan keuntungan pun sedikit. Itu sebabnya, Karta mendatangi Haji Muhidin untuk meminta nasihat agar ada yang memberi tambahan modal.
"Karta, perkara nambah modal mah gampang. Asal Karta bersyukur, penghasilan pasti ditambah. Bahkan kadang enggak perlu modal tambahan. Kan, perkara rezeki bertambah, perkara syukur. Kata Allah, kalau kita bersyukur, maka akan ditambahi dengan segala nikmat."
"Pak Haji, gimana rezeki mau nambah, wong modalnya udah ketaker. Segitu-gitunya. Dagangan habis ampe pol juga, ya, hanya sekian yang saya bawa pulang...," kata Karta dengan nada rada putus asa.
"Allah Maha Memberi Rezeki, Karta. Kalau Allah sudah mau menambah rezeki bagi kita, dari mana saja jalannya, pasti ada. Ini juga perkara tauhid, Karta. Rezeki Karta tuh bukan dari dagangan ikan, tapi dari Allah," ujar Haji Muhidin.
Lama Karta berbicara dengan Haji Muhidin tentang peruntungan dagangan dia, hingga ada satu nasihat Haji Muhidin yang tetap melekat di otak, "Kalau mau bertambah, cobalah berbagi...".
Sejujurnya, Karta tidak terlalu paham. Tidak berbagi saja sudah kurang, apalagi harus berbagi? "Apa tidak makin kurang...?" Sungguhpun Haji Muhidin meyakinkan dengan firman Allah bahwa siapa yang berbuat satu kebaikan, Allah akan mengganti 10 kali lipat lebih banyak, Karta masih belum tergugah.
Pagi itu, anaknya bercerita pada Karta, sebelum dia berjualan ke pasar. "Pak, ada temen saya yang enggak bisa bayaran sekolah. Bapaknya udah enggak ada. Katanya, dia mau berhenti."
Di saat itulah Karta teringat nasihat Haji Muhidin yang lain, yang mengatakan, "Kalau mau ditolong Allah, tolonglah hamba-Nya yang sedang kesusahan."
Seketika itu pula Karta seperti diingatkan, lalu bilang pada anaknya, "Bilangin sama kawan kamu itu, Bapak aja yang jadi bapaknya." Anaknya girang. "Oke, Pak. Saya akan bilangin dia. Dia pasti senang, tuh!"
Sambil memberi uang saku pada anaknya, Karta juga memberi tambahan Rp 5.000 pada si anak.
"Buat saya nih, Pak? Tambahan?"
"Bukan. Itu buat kawan kamu. Kan kamu udah, sepuluh ribu."
"Oh, kirain buat saya," ujar anaknya sembari tertawa kecil. "Baik Pak, akan saya berikan pada dia."
Karta beristigfar. Bersyukur, itulah yang dia lakukan. Anaknya masih punya diri dia sebagai bapak. Dan ia masih memiliki anak sebagai anaknya. Hari ini ia bisa membahagiakan orang. Inilah yang ia syukuri. Benar juga Haji Muhidin, jika mau bertambah rezeki, harus bisa bersyukur dulu. "Berbagi dan bersedekah adalah salah satu wujud dari bersyukur," kata Haji Muhidin, waktu itu.
Karta tersenyum. Lalu ia berharap, "Mudah-mudahan ada yang memodali saya. Buat memperbesar dagangan." Menjelang lohor, dagangan Karta sudah habis. Selama ini ia berdagang memang hanya sampai siang, dan setelah itu pulang.
Nah, hari itu, menjelang pulang, ada kawan Karta yang menghampiri. "Karta, saya pinjam motormu dulu, ya...."
Karta meminjamkan motornya, sambil berpesan, "Jangan lama-lama, ya. Saya udah mau pulang."
Sekitar 15 menit, kawan itu kembali dan memulangkan motor Karta. "Karta, makasih, ya. Ini kuncinya, ini STNK-nya, dan ini buat ganti bensin," ujar si teman. Karta tertegun. Dia diberi uang Rp 100.000, yang katanya buat ganti bensin. "Allah Mahabenar Janji-Nya".
Karta ingat, tadi pagi ia berniat menanggung biaya pendidikan kawan anaknya, dan memberi uang saku pada dia Rp 5.000. Siang ini Allah membalas dengan Rp 100.000. Bagi Karta, rezeki ini bukan dari si peminjam motor, melainkan dari Allah.
Akhirnya Karta memahami bahwa cara Allah memberi tambahan rezeki dari banyak jalan. Dan, ternyata pula, rezeki itu tidak harus dicari-cari dengan menambahi modal dulu. Cukup dengan diawali bersyukur, berbagi, bersedekah, maka rezeki bisa bertambah.
Kejadian siang itu memberi pelajaran baru pada Karta. Memang, otak terkadang dipenjarakan dengan hitung-hitungan kita sendiri bahwa kalau mau untung harus begini harus begitu. Termasuk dengan menambah jumlah modal. Banyak manusia yang lupa atau tidak tahu --termasuk Karta- untuk menemukan jalan bersyukur lebih dahulu, supaya Allah, Yang Maha Memberi Nikmat, menambah perbendaharaan rezeki buat kita.
Oleh Yusuf Mansur (Gatra.Com)
14 February 2006
Menyelamatkan Perusahaan
Suatu hari, seorang pengusaha datang ke konseling Wisata Hati. Ia mengadukan bahwa bisnisnya sudah hancur. Dia mengaku tidak memiliki apa-apa lagi. Benar-benar telah habis-habisan.
Ternyata, setelah diperhatikan lebih jauh, kemelaratan si pengusaha ini tidak seperti yang terbayangkan. Ia datang membawa mobil sedan Opel. Pemandangan ini sepintas sangat kontradiktif dengan pengakuan dia.
Sebelum menimbulkan penafsiran yang tidak-tidak, si pengusaha nyeletuk: "Mobil itu tinggal menunggu waktu untuk ditarik dealer." Ia juga menceritakan bahwa sebagian besar pegawainya sudah dirumahkan. Hanya karyawan yang memahami diri dia yang masih bertahan.
Di dalam konseling itu ditawarkan padanya solusi mengatasi kebangkrutan usaha dengan cara bersedekah. "Sebelum bicara banyak tentang solusi bagi bisnis itu sendiri, cobalah Bapak bersedekah. Sedekah itu menolak bala dan memperpanjang umur, di samping mengundang datangnya rezeki."
"Apa maksudnya," tanya dia.
"Bicara bisnis, bicara gampang. Kalau Bapak sudah dekat lagi dengan Allah, bisnis akan lancar lagi. Bapak mau minta tolong kepada Allah kan? Pendekatannya adalah lakukan dengan pendekatan ibadah. Salah satu yang disukai oleh Allah adalah kalau kita mau menolong sesama, meskipun saat ini kita terhitung orang yang susah."
"Sedekah akan menolak bala. Kalau Bapak menganggap kebangkrutan Bapak adalah bala. Maka, insya Allah sedekah akan bekerja menyelamatkan Bapak dari kebangkrutan total. Sedekah juga bisa memperpanjang umur. Siapa tahu, menurut Bapak, Bapak sudah akan tamat riwayatnya sebagai pebisnis yang andal, beralih sebutan menjadi pebisnis yang bangkrut, kemudian malah bisa berubah kondisinya."
"Perusahaan Bapak bisa bernapas lagi. Bisnis bergerak lagi. Dan Bapak tidak jadi 'mati'. Dan, bahkan sedekah bisa mengundang datangnya rezeki. Siapa tahu pula perusahaan Bapak malah kebanjiran order yang Bapak tidak perkirakan sebelumnya. Bukankah Allah bisa memberikan jalan, bisa membukakan jalan, dari arah yang tidak disangka hamba-hamba-Nya?"
"Pak, nanti, kalau sudah menikmati hasil sedekah Bapak, berupa anugerah pertolongan dari Allah, Bapak pelihara sedekah itu menjadi pakaian utama, pakaian sehari-hari dalam berbinis. Sebab apa? Sebab sedekah akan menyembuhkan penyakit, akan menjaga diri dari penyakit. Dalam hal usaha, maka sedekah akan bisa membuat perusahaan terlindungi dari hal-hal yang bisa membuat merugi."
Si pengusaha ini bingung. Sedekah di saat sulit bukanlah pilihan mudah. "Lagian saya kan nggak punya apa-apa?" begitu katanya.
"Itu. Opel?"
"Yah, mobil Opel itu kan sudah mau ditarik...."
"Nah, dari pada keburu ditarik? Kan lebih baik disedekahkan dulu. Diberikan kepada Allah."
"Nanti saya pakai apa?"
"Itu tandanya bukan persoalan ditarik atau tidak, tapi persoalan Bapak masih berat melepas barang kesayangan yang mungkin tinggal satu-satunya. Iya kan?"
Todongan statemen tersebut membuat si pengusaha tak bisa mengelak, dan mengiyakan. Suka atau tidak suka, mobil itu memang akan ditarik. Sebab, sudah empat bulan ia menunggak cicilan. Setoran awal, yang semula terasa enteng, hanya kurang lebih Rp 8 juta-an sebulan, kini terasa sangat berat. Belum lagi harus bayar denda dan biaya tarik kendaraan yang selangit. Wuh, berat!
Namun, dia juga tidak pernah terpikirkan untuk menyedekahkan mobil tersebut. Dalam gambaran dia, memanfaatkan kendaraan itu sebelum ditarik oleh dealer adalah lumayan. Lagi pula, kalau nanti ditarik, ia akan bernegosiasi menjual sedan Opel itu, dan masih ada sisa cicilan yang bisa digunakan.
Setelah ngobrol sana ngobrol sini tentang sedekah, dan diyakinkan mengenai pintu-pintu rezeki dari Allah, pengusaha ini secara bulat akan menyedekahkan mobil dia. Berkas-berkas kredit dia kumpulkan, lalu melangkahkan kaki ke showroom. Dia jual Opel-nya kepada showroom mobil. Perusahaan itulah yang akan melunasi seluruh cicilan, termasuk yang nunggak. Selisih antara harga jual dan sisa cicilan inilah yang oleh si pengusaha disedekahkan.
Ajaib! Tidak sampai seminggu, ia kembali lagi berkunjung ke konseling. Kali ini, meski dia naik taksi, wajahnya berseri-seri. Ia kisahkan perjalanan hidup dalam seminggu ini. Awalnya dia mengeluh berat. Tanpa mobil ruang geraknya terbatas.
Ternyata, di balik kesulitan itu dia kedatangan seorang teman dari luar kota yang membawa mobil. Mengetahui bahwa si pengusaha tidak punya aktivitas usaha, dan tentunya memiliki waktu luang banyak, diajaklah muter-muter untuk bertemu si ini, si anu, dan sebagainya.
Buntut dari pertemuan yang tak disangka-sangka tersebut, "Saya dilibatkan untuk ikut berbisnis dengan kawan yang dari luar kota itu," katanya dengan penuh semangat.
Benar. Allah memang Mahaluas. Dia akan menyediakan jalan-jalan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. "Jadi saya tidak lagi merasakan tidak punya mobil," tuturnya. "Sebab, saya tiap hari masih pakai mobil."
"Bahkan," ia melanjutkan, "Dari hasil jalan bareng dengan kawan ini banyak order untuk perusahaan yang kemudian di-sub-kan ke perusahan saya." Malah, dengan bangga pula ia kisahkan tentang beberapa karyawan yang dulu diistirahatkan telah dipanggil kembali mengerjakan proyek-proyek baru.
Rezeki memang datang dari arah yang tak disangka-sangka, jika Allah sudah menghendaki.
Salam,
Yusuf Mansur (dari www.gatra.com)
Ternyata, setelah diperhatikan lebih jauh, kemelaratan si pengusaha ini tidak seperti yang terbayangkan. Ia datang membawa mobil sedan Opel. Pemandangan ini sepintas sangat kontradiktif dengan pengakuan dia.
Sebelum menimbulkan penafsiran yang tidak-tidak, si pengusaha nyeletuk: "Mobil itu tinggal menunggu waktu untuk ditarik dealer." Ia juga menceritakan bahwa sebagian besar pegawainya sudah dirumahkan. Hanya karyawan yang memahami diri dia yang masih bertahan.
Di dalam konseling itu ditawarkan padanya solusi mengatasi kebangkrutan usaha dengan cara bersedekah. "Sebelum bicara banyak tentang solusi bagi bisnis itu sendiri, cobalah Bapak bersedekah. Sedekah itu menolak bala dan memperpanjang umur, di samping mengundang datangnya rezeki."
"Apa maksudnya," tanya dia.
"Bicara bisnis, bicara gampang. Kalau Bapak sudah dekat lagi dengan Allah, bisnis akan lancar lagi. Bapak mau minta tolong kepada Allah kan? Pendekatannya adalah lakukan dengan pendekatan ibadah. Salah satu yang disukai oleh Allah adalah kalau kita mau menolong sesama, meskipun saat ini kita terhitung orang yang susah."
"Sedekah akan menolak bala. Kalau Bapak menganggap kebangkrutan Bapak adalah bala. Maka, insya Allah sedekah akan bekerja menyelamatkan Bapak dari kebangkrutan total. Sedekah juga bisa memperpanjang umur. Siapa tahu, menurut Bapak, Bapak sudah akan tamat riwayatnya sebagai pebisnis yang andal, beralih sebutan menjadi pebisnis yang bangkrut, kemudian malah bisa berubah kondisinya."
"Perusahaan Bapak bisa bernapas lagi. Bisnis bergerak lagi. Dan Bapak tidak jadi 'mati'. Dan, bahkan sedekah bisa mengundang datangnya rezeki. Siapa tahu pula perusahaan Bapak malah kebanjiran order yang Bapak tidak perkirakan sebelumnya. Bukankah Allah bisa memberikan jalan, bisa membukakan jalan, dari arah yang tidak disangka hamba-hamba-Nya?"
"Pak, nanti, kalau sudah menikmati hasil sedekah Bapak, berupa anugerah pertolongan dari Allah, Bapak pelihara sedekah itu menjadi pakaian utama, pakaian sehari-hari dalam berbinis. Sebab apa? Sebab sedekah akan menyembuhkan penyakit, akan menjaga diri dari penyakit. Dalam hal usaha, maka sedekah akan bisa membuat perusahaan terlindungi dari hal-hal yang bisa membuat merugi."
Si pengusaha ini bingung. Sedekah di saat sulit bukanlah pilihan mudah. "Lagian saya kan nggak punya apa-apa?" begitu katanya.
"Itu. Opel?"
"Yah, mobil Opel itu kan sudah mau ditarik...."
"Nah, dari pada keburu ditarik? Kan lebih baik disedekahkan dulu. Diberikan kepada Allah."
"Nanti saya pakai apa?"
"Itu tandanya bukan persoalan ditarik atau tidak, tapi persoalan Bapak masih berat melepas barang kesayangan yang mungkin tinggal satu-satunya. Iya kan?"
Todongan statemen tersebut membuat si pengusaha tak bisa mengelak, dan mengiyakan. Suka atau tidak suka, mobil itu memang akan ditarik. Sebab, sudah empat bulan ia menunggak cicilan. Setoran awal, yang semula terasa enteng, hanya kurang lebih Rp 8 juta-an sebulan, kini terasa sangat berat. Belum lagi harus bayar denda dan biaya tarik kendaraan yang selangit. Wuh, berat!
Namun, dia juga tidak pernah terpikirkan untuk menyedekahkan mobil tersebut. Dalam gambaran dia, memanfaatkan kendaraan itu sebelum ditarik oleh dealer adalah lumayan. Lagi pula, kalau nanti ditarik, ia akan bernegosiasi menjual sedan Opel itu, dan masih ada sisa cicilan yang bisa digunakan.
Setelah ngobrol sana ngobrol sini tentang sedekah, dan diyakinkan mengenai pintu-pintu rezeki dari Allah, pengusaha ini secara bulat akan menyedekahkan mobil dia. Berkas-berkas kredit dia kumpulkan, lalu melangkahkan kaki ke showroom. Dia jual Opel-nya kepada showroom mobil. Perusahaan itulah yang akan melunasi seluruh cicilan, termasuk yang nunggak. Selisih antara harga jual dan sisa cicilan inilah yang oleh si pengusaha disedekahkan.
Ajaib! Tidak sampai seminggu, ia kembali lagi berkunjung ke konseling. Kali ini, meski dia naik taksi, wajahnya berseri-seri. Ia kisahkan perjalanan hidup dalam seminggu ini. Awalnya dia mengeluh berat. Tanpa mobil ruang geraknya terbatas.
Ternyata, di balik kesulitan itu dia kedatangan seorang teman dari luar kota yang membawa mobil. Mengetahui bahwa si pengusaha tidak punya aktivitas usaha, dan tentunya memiliki waktu luang banyak, diajaklah muter-muter untuk bertemu si ini, si anu, dan sebagainya.
Buntut dari pertemuan yang tak disangka-sangka tersebut, "Saya dilibatkan untuk ikut berbisnis dengan kawan yang dari luar kota itu," katanya dengan penuh semangat.
Benar. Allah memang Mahaluas. Dia akan menyediakan jalan-jalan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. "Jadi saya tidak lagi merasakan tidak punya mobil," tuturnya. "Sebab, saya tiap hari masih pakai mobil."
"Bahkan," ia melanjutkan, "Dari hasil jalan bareng dengan kawan ini banyak order untuk perusahaan yang kemudian di-sub-kan ke perusahan saya." Malah, dengan bangga pula ia kisahkan tentang beberapa karyawan yang dulu diistirahatkan telah dipanggil kembali mengerjakan proyek-proyek baru.
Rezeki memang datang dari arah yang tak disangka-sangka, jika Allah sudah menghendaki.
Salam,
Yusuf Mansur (dari www.gatra.com)
11 February 2006
Senggigi
Mau share aja, betapa indahnya pulau gue.....
salah satunya adalah pantai senggigi yg lumayan beken itu...
salah satunya adalah pantai senggigi yg lumayan beken itu...
Yang ini Senggigi di senja hari...
10 February 2006
Memang Mau Hijrah ke Mana?
Usai menulis Resonansi tentang hijrah pekan lalu, saya menerima pesan ringkas. "Memang mau hijrah ke mana?" Tentu saja pesan itu pesan seloroh. Pengirim pesan bukanlah orang yang tak mau hijrah. Sebaliknya, ia telah membuktikan diri sukses lantaran hijrah. Padahal, untuk hijrah itu ia harus meninggalkan posisinya yang telah mapan.
Semula ia bekerja di lembaga negara urusan pemeriksaan keuangan. Dengan kapasitasnya, ia sangat terpakai oleh kantornya. Jika mau, dengan mudah ia bisa kaya sebagaimana teman-teman seangkatannya. Tapi, ia memang pribadi unggul. Ia memilih keluar dari tempat kerjanya buat sekolah di sebuah institut manajemen terbaik di Asia. Keunggulannya pun berbuah. Ia lalu bekerja di sebuah badan dunia. Materi tidak kekurangan. Tapi, lebih dari itu, ia berkesempatan membantu sangat banyak warga miskin.
Banyak lagi orang-orang sepertinya: sukses setelah hijrah. 'Ke mana' hijrahnya berbeda-beda. Tapi semua yang berhijrah secara sungguh-sungguh bukan setengah-setengah-- selalu berhasil. Jadi, ke mana hijrah tak jadi soal, asalkan ke perubahan yang lebih baik. "Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin," sabda Rasul. Tentu esok harus lebih baik dari hari ini. Itulah ajaran Nabi. Agama selalu dihadirkan buat melakukan perubahan, walaupun agama kemudian juga selalu dipakai alasan untuk mempertahankan status quo.
Maka, Ahad lalu, teman-teman ngaji saya bersepakat hijrah. Hijrahnya adalah membuat perubahan sederhana namun nyata dalam hidup masing-masing. Bisa saja hijrah itu dalam bentuk berhenti merokok, berupaya selalu berjamaah di masjid lebih dari sekali dalam sehari (hal yang jarang dilakukan para eksekutif), membaca satu buku baru dalam seminggu, menjadi pendengar yang baik, lebih rutin berolahraga, tak marah menghadapi macet atau melihat kesalahan orang, tersenyum saat berpapasan dengan siapa pun, dan banyak bentuk hjrah lainnya.
Hijrah selalu mengantarkan pada yang baru. Dengan demikian, hijrah pada hakikatnya adalah belajar. Sedangkan belajar harus dilakukan sepanjang usia. Bila perlu, kata Nabi, sampai ke negeri Cina. Seorang pembelajar tak akan pernah memaksakan pahamnya sendiri. Termasuk paham yang dipandangnya sebagai kebenaran agama. Pembelajar selalu tahu, ilmu Allah jauh lebih luas dan dalam ketimbang yang dapat dipahaminya. Pembelajar selalu menghargai siapa pun --pejabat atau rakyat, kawan atau musuh-- karena ia tahu Allah pasti memberi kelebihan pada setiap orang. Maka, Rasul tak ragu minta pendapat Zaid bin Haritsah tentang persoalan keluarganya. Padahal, Rasul setiap saat dapat menerima wahyu. Sedangkan Zaid hanya seorang remaja.
Kita tentu ingin menghijrahkan umat dan bangsa ke keadaan lebih baik. Tapi, itu tak mungkin terjadi tanpa kita mampu menghijrahkan diri sendiri dalam urusan sehari-hari. Padahal, kita cenderung enggan menghijrahkan diri sendiri. Kita sering takut menghadapi sesuatu yang baru, karena baru selalu punya sisi tidak pasti. Kita takut pada ketidakpastian. Kita menyukai kemapanan. Yang miskin mapan dengan perasaan 'tidak berdaya, paling menderita, dan selalu jadi korban ketidakadilan dunia'.
Yang kaya dan berkuasa mapan dengan perasaan 'lebih hebat dari yang lain serta takut miskin'. Kemajuan apa yang akan diperoleh umat dan bangsa bila setiap kita enggan berubah, dan nyaman menjadi mapan? Misi para Rasul selalu mendobrak sikap mapan masyarakatnya. Rasulullah SAW tak hanya mendongkel kemapanan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan. Rasul tinggalkan kehidupannya yang mapan buat menempuh jalan dakwah. Rasul bahkan mengajarkan hijrah fisik: meninggalkan daerah asal yang membesarkannya buat hidup di daerah yang sama sekali baru. Itu teladan Rasul.
Tapi, sekali lagi, virus mapan seringkali telah sedemikian melekat dalam jiwa. Kita sama sekali tak menoleh teladan Rasul itu. Kita tetap saja enggan berhijrah dalam perilaku dan bahkan fisik. Dalam beragama, kita memilih menjalankan ibadah formal saja. Padahal, hijrah selalu mengantarkan pada sukses. Bukan hanya di akhirat kelak, tapi juga di dunia. Itulah yang telah ditunjukkan Rasul dan para pengukir peradaban dulu. Jadi, mari hijrah ke manapun yang lebih baik.
Oleh : Zaim Uchrowi (Republika)
Semula ia bekerja di lembaga negara urusan pemeriksaan keuangan. Dengan kapasitasnya, ia sangat terpakai oleh kantornya. Jika mau, dengan mudah ia bisa kaya sebagaimana teman-teman seangkatannya. Tapi, ia memang pribadi unggul. Ia memilih keluar dari tempat kerjanya buat sekolah di sebuah institut manajemen terbaik di Asia. Keunggulannya pun berbuah. Ia lalu bekerja di sebuah badan dunia. Materi tidak kekurangan. Tapi, lebih dari itu, ia berkesempatan membantu sangat banyak warga miskin.
Banyak lagi orang-orang sepertinya: sukses setelah hijrah. 'Ke mana' hijrahnya berbeda-beda. Tapi semua yang berhijrah secara sungguh-sungguh bukan setengah-setengah-- selalu berhasil. Jadi, ke mana hijrah tak jadi soal, asalkan ke perubahan yang lebih baik. "Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin," sabda Rasul. Tentu esok harus lebih baik dari hari ini. Itulah ajaran Nabi. Agama selalu dihadirkan buat melakukan perubahan, walaupun agama kemudian juga selalu dipakai alasan untuk mempertahankan status quo.
Maka, Ahad lalu, teman-teman ngaji saya bersepakat hijrah. Hijrahnya adalah membuat perubahan sederhana namun nyata dalam hidup masing-masing. Bisa saja hijrah itu dalam bentuk berhenti merokok, berupaya selalu berjamaah di masjid lebih dari sekali dalam sehari (hal yang jarang dilakukan para eksekutif), membaca satu buku baru dalam seminggu, menjadi pendengar yang baik, lebih rutin berolahraga, tak marah menghadapi macet atau melihat kesalahan orang, tersenyum saat berpapasan dengan siapa pun, dan banyak bentuk hjrah lainnya.
Hijrah selalu mengantarkan pada yang baru. Dengan demikian, hijrah pada hakikatnya adalah belajar. Sedangkan belajar harus dilakukan sepanjang usia. Bila perlu, kata Nabi, sampai ke negeri Cina. Seorang pembelajar tak akan pernah memaksakan pahamnya sendiri. Termasuk paham yang dipandangnya sebagai kebenaran agama. Pembelajar selalu tahu, ilmu Allah jauh lebih luas dan dalam ketimbang yang dapat dipahaminya. Pembelajar selalu menghargai siapa pun --pejabat atau rakyat, kawan atau musuh-- karena ia tahu Allah pasti memberi kelebihan pada setiap orang. Maka, Rasul tak ragu minta pendapat Zaid bin Haritsah tentang persoalan keluarganya. Padahal, Rasul setiap saat dapat menerima wahyu. Sedangkan Zaid hanya seorang remaja.
Kita tentu ingin menghijrahkan umat dan bangsa ke keadaan lebih baik. Tapi, itu tak mungkin terjadi tanpa kita mampu menghijrahkan diri sendiri dalam urusan sehari-hari. Padahal, kita cenderung enggan menghijrahkan diri sendiri. Kita sering takut menghadapi sesuatu yang baru, karena baru selalu punya sisi tidak pasti. Kita takut pada ketidakpastian. Kita menyukai kemapanan. Yang miskin mapan dengan perasaan 'tidak berdaya, paling menderita, dan selalu jadi korban ketidakadilan dunia'.
Yang kaya dan berkuasa mapan dengan perasaan 'lebih hebat dari yang lain serta takut miskin'. Kemajuan apa yang akan diperoleh umat dan bangsa bila setiap kita enggan berubah, dan nyaman menjadi mapan? Misi para Rasul selalu mendobrak sikap mapan masyarakatnya. Rasulullah SAW tak hanya mendongkel kemapanan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan. Rasul tinggalkan kehidupannya yang mapan buat menempuh jalan dakwah. Rasul bahkan mengajarkan hijrah fisik: meninggalkan daerah asal yang membesarkannya buat hidup di daerah yang sama sekali baru. Itu teladan Rasul.
Tapi, sekali lagi, virus mapan seringkali telah sedemikian melekat dalam jiwa. Kita sama sekali tak menoleh teladan Rasul itu. Kita tetap saja enggan berhijrah dalam perilaku dan bahkan fisik. Dalam beragama, kita memilih menjalankan ibadah formal saja. Padahal, hijrah selalu mengantarkan pada sukses. Bukan hanya di akhirat kelak, tapi juga di dunia. Itulah yang telah ditunjukkan Rasul dan para pengukir peradaban dulu. Jadi, mari hijrah ke manapun yang lebih baik.
Oleh : Zaim Uchrowi (Republika)
07 February 2006
Racun
SEMUA kejadian pasti bermakna, tak peduli bikin sedih atau sakit hati. Maka, nasihat arif yang acap kita dengar adalah: ''Petik manfaatnya, ambil hikmahnya.'' Ubahlah cara pandang! Istilah kerennya, reframing. Yaitu upaya membingkai ulang sebuah kejadian dengan mengubah sudut pandang secara positif.
Maka, jadilah sebuah kebencian bersulih cinta. Ketakutan mewujud ketenteraman batin. Dan, yang tampak ''tidak adil'' terlihat sebagai anugerah yang perlu disyukuri. Apalagi jika mampu melihat secara polos, alami tanpa ego, maka akan tergambar cinta kasih yang hidup dalam setiap renik penciptaan-Nya.
Hidup pun benar-benar tenteram tanpa dibayangi ketakutan. Pelukis, pemusik, dan sastrawan besar India, Rabindranath Tagore (1816-1941), menulis begini: ''Di belakangku ada kekuatan tak terbatas, di depanku ada kemungkinan tak berakhir, di sekelilingku ada kesempatan tak terhitung. Dan, semua itu ada Yang Mengatur. Kenapa mesti takut?''
Ya, kenapa mesti takut? Sunan Bonang alias Makhdum Ibrahim, yang lahir pada pertengahan abad ke-15 dan meninggal pada abad ke-16, menulis sajak begini:
Jangan terlalu jauh mencari keindahan
Keindahan ada di dalam diri
malah seluruh dunia ada di dalam diri
Jadikan dirimu cinta
Supaya dapat memandang dunia
Pusatkan pikiran heningkan cipta
Siang malam, berjagalah!
Segala yang ada di sekelilingmu
Adalah buah amal perbuatanmu
Jadikan dirimu cinta supaya dapat memandang dunia! Kalimat yang bermakna dalam. Dr. Deepak Chopra, ahli psikospiritual India, menulis dalam The Way of the Wizard, Rahasia Jurus Sang Empu, cinta adalah ''yang meluluhkan segala ketidakmurnian, sehingga yang masih ada hanya yang sejati dan yang riil.'' Selama kaupunya takut, kaupunya kemarahan, kaupunya ego yang mementingkan diri sendiri, kau tidak bisa benar-benar mencintai.
Dan, tidak ada orang yang tanpa cinta. Yang ada hanya orang yang tidak bisa merasakan kekuatan cinta. Cinta itu lebih dari suatu emosi atau suatu perasaan. Cinta lebih dari kegairahan. ''Cinta adalah udara yang kita hirup sebagai napas... dan beredar dalam tiap sel.'' Cinta adalah kekuatan tertinggi karena tiada paksaan.
Cinta itu pula yang menggerakkan saya membagi kisah dari e-mail seorang rekan. Ceritanya, di zaman Cina kuno, seorang wanita muda yang baru menikah, Li-Li, tinggal di rumah ''mertua indah''. Setelah berhari-hari berkumpul, dia menyimpulkan tidak cocok dengan si ibu mertua. Tiada hari tanpa debat dan tengkar.
Li-Li tambah kesal karena adat Cina kuno mengatakan: ''Harus selalu menundukkan kepala untuk menghormati mertua dan menaati semua kemauannya.'' Suami Li-Li, seorang yang berjiwa sederhana, sedih menghadapi keributan yang tiada pernah henti itu. Akhirnya, Li-Li tak tahan lagi, dan bertekad melakukan sesuatu. Ia pun pergi ke rumah sahabat ayahnya, Sinshe Wang, yang memiliki toko obat. Ia ceritakan kekeruhan di rumah dan mohon agar dibuatkan racun bagi si ibu mertua.
Sinshe Wang berpikir keras sejenak, lalu berkata: ''Li-Li, saya mau membantu menyelesaikan masalahmu, tapi kamu harus mendengarkan saya dan menaati apa yang saya sarankan.'' Jawab Li-Li: ''Baik, Pak Wang. Saya akan mengikuti yang Bapak katakan.'' Wang mengambil ramuan dan berpesan: ''Kamu tidak bisa memakai racun keras yang mematikan seketika untuk menyingkirkan ibu mertuamu, karena itu akan membuat orang jadi curiga. Saya memberimu ramuan beberapa jenis tanaman obat yang secara perlahan-lahan akan jadi racun dalam tubuhnya.''
Untuk itu, ''Setiap hari sediakan makanan yang enak-enak dan masukkan sedikit ramuan obat ini ke dalamnya. Lalu, supaya tidak ada yang curiga saat ia mati nanti, kamu harus hati-hati dan bersikaplah sangat bersahabat dengannya. Jangan berdebat dengannya, taati semua kehendaknya, dan perlakukan dia seperti seorang ratu,'' kata Wang. Li-Li sangat senang dan berterima kasih pada Wang. Buru-buru dia pulang untuk memulai rencana membunuh ibu mertua.
Minggu demi minggu, bulan demi bulan berlalu, Li-Li melayani mertuanya secara manusiawi. Disuguhkannya makanan lezat yang sudah ''dibumbui''. Pokoknya, sesuai petunjuk agar tak menimbulkan kecurigaan. Ia mulai belajar mengendalikan amarah, menaati perintah ibu mertua, dan memperlakukannya seperti ibu sendiri.
Enam bulan berlalu, dan suasana berubah drastis. Li-Li sudah mampu menguasai diri. Ia tak pernah kesal atau marah lagi. Ia juga tak pernah berdebat dengan ibu mertua. Begitu pula si ibu mertua. Jauh lebih ramah. Li-Li dianggap sebagai putri sendiri. Tak hanya itu, diceritakan pada kawan dan sanak famili bahwa Li-Li menantu paling baik yang ia peroleh.
Suatu hari, Li-Li menemui Sinshe Wang. ''Pak Wang, tolong saya untuk mencegah supaya racun yang saya berikan pada ibu mertua tidak sampai membunuhnya. Ia telah berubah jadi wanita sangat baik sehingga saya mencintainya, seperti ibu sendiri. Saya tidak mau ia mati karena racun yang saya berikan kepadanya,'' kata dia.
Wang tersenyum. Ia mengangguk-angguk, lalu berkata: ''Li-Li, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Saya tidak pernah memberi kamu racun. Ramuan yang saya berikan kepadamu itu hanyalah penguat badan untuk menjaga kesehatan.... Satu-satunya racun yang ada adalah yang terdapat dalam pikiranmu sendiri dan di dalam sikapmu terhadapnya. Tapi semua itu telah disapu bersih dengan cinta yang kamu berikan kepadanya.''
Cinta memang dahsyat. Pepatah Cina kuno mengatakan: ''Orang yang mencintai orang lain akan dicintai juga sebagai balasannya.'' Dan, itu sudah dibuktikan Li-Li, walau pada awalnya karena keterpaksaan.
Oleh Widi Yarmanto (Gatra)
Maka, jadilah sebuah kebencian bersulih cinta. Ketakutan mewujud ketenteraman batin. Dan, yang tampak ''tidak adil'' terlihat sebagai anugerah yang perlu disyukuri. Apalagi jika mampu melihat secara polos, alami tanpa ego, maka akan tergambar cinta kasih yang hidup dalam setiap renik penciptaan-Nya.
Hidup pun benar-benar tenteram tanpa dibayangi ketakutan. Pelukis, pemusik, dan sastrawan besar India, Rabindranath Tagore (1816-1941), menulis begini: ''Di belakangku ada kekuatan tak terbatas, di depanku ada kemungkinan tak berakhir, di sekelilingku ada kesempatan tak terhitung. Dan, semua itu ada Yang Mengatur. Kenapa mesti takut?''
Ya, kenapa mesti takut? Sunan Bonang alias Makhdum Ibrahim, yang lahir pada pertengahan abad ke-15 dan meninggal pada abad ke-16, menulis sajak begini:
Jangan terlalu jauh mencari keindahan
Keindahan ada di dalam diri
malah seluruh dunia ada di dalam diri
Jadikan dirimu cinta
Supaya dapat memandang dunia
Pusatkan pikiran heningkan cipta
Siang malam, berjagalah!
Segala yang ada di sekelilingmu
Adalah buah amal perbuatanmu
Jadikan dirimu cinta supaya dapat memandang dunia! Kalimat yang bermakna dalam. Dr. Deepak Chopra, ahli psikospiritual India, menulis dalam The Way of the Wizard, Rahasia Jurus Sang Empu, cinta adalah ''yang meluluhkan segala ketidakmurnian, sehingga yang masih ada hanya yang sejati dan yang riil.'' Selama kaupunya takut, kaupunya kemarahan, kaupunya ego yang mementingkan diri sendiri, kau tidak bisa benar-benar mencintai.
Dan, tidak ada orang yang tanpa cinta. Yang ada hanya orang yang tidak bisa merasakan kekuatan cinta. Cinta itu lebih dari suatu emosi atau suatu perasaan. Cinta lebih dari kegairahan. ''Cinta adalah udara yang kita hirup sebagai napas... dan beredar dalam tiap sel.'' Cinta adalah kekuatan tertinggi karena tiada paksaan.
Cinta itu pula yang menggerakkan saya membagi kisah dari e-mail seorang rekan. Ceritanya, di zaman Cina kuno, seorang wanita muda yang baru menikah, Li-Li, tinggal di rumah ''mertua indah''. Setelah berhari-hari berkumpul, dia menyimpulkan tidak cocok dengan si ibu mertua. Tiada hari tanpa debat dan tengkar.
Li-Li tambah kesal karena adat Cina kuno mengatakan: ''Harus selalu menundukkan kepala untuk menghormati mertua dan menaati semua kemauannya.'' Suami Li-Li, seorang yang berjiwa sederhana, sedih menghadapi keributan yang tiada pernah henti itu. Akhirnya, Li-Li tak tahan lagi, dan bertekad melakukan sesuatu. Ia pun pergi ke rumah sahabat ayahnya, Sinshe Wang, yang memiliki toko obat. Ia ceritakan kekeruhan di rumah dan mohon agar dibuatkan racun bagi si ibu mertua.
Sinshe Wang berpikir keras sejenak, lalu berkata: ''Li-Li, saya mau membantu menyelesaikan masalahmu, tapi kamu harus mendengarkan saya dan menaati apa yang saya sarankan.'' Jawab Li-Li: ''Baik, Pak Wang. Saya akan mengikuti yang Bapak katakan.'' Wang mengambil ramuan dan berpesan: ''Kamu tidak bisa memakai racun keras yang mematikan seketika untuk menyingkirkan ibu mertuamu, karena itu akan membuat orang jadi curiga. Saya memberimu ramuan beberapa jenis tanaman obat yang secara perlahan-lahan akan jadi racun dalam tubuhnya.''
Untuk itu, ''Setiap hari sediakan makanan yang enak-enak dan masukkan sedikit ramuan obat ini ke dalamnya. Lalu, supaya tidak ada yang curiga saat ia mati nanti, kamu harus hati-hati dan bersikaplah sangat bersahabat dengannya. Jangan berdebat dengannya, taati semua kehendaknya, dan perlakukan dia seperti seorang ratu,'' kata Wang. Li-Li sangat senang dan berterima kasih pada Wang. Buru-buru dia pulang untuk memulai rencana membunuh ibu mertua.
Minggu demi minggu, bulan demi bulan berlalu, Li-Li melayani mertuanya secara manusiawi. Disuguhkannya makanan lezat yang sudah ''dibumbui''. Pokoknya, sesuai petunjuk agar tak menimbulkan kecurigaan. Ia mulai belajar mengendalikan amarah, menaati perintah ibu mertua, dan memperlakukannya seperti ibu sendiri.
Enam bulan berlalu, dan suasana berubah drastis. Li-Li sudah mampu menguasai diri. Ia tak pernah kesal atau marah lagi. Ia juga tak pernah berdebat dengan ibu mertua. Begitu pula si ibu mertua. Jauh lebih ramah. Li-Li dianggap sebagai putri sendiri. Tak hanya itu, diceritakan pada kawan dan sanak famili bahwa Li-Li menantu paling baik yang ia peroleh.
Suatu hari, Li-Li menemui Sinshe Wang. ''Pak Wang, tolong saya untuk mencegah supaya racun yang saya berikan pada ibu mertua tidak sampai membunuhnya. Ia telah berubah jadi wanita sangat baik sehingga saya mencintainya, seperti ibu sendiri. Saya tidak mau ia mati karena racun yang saya berikan kepadanya,'' kata dia.
Wang tersenyum. Ia mengangguk-angguk, lalu berkata: ''Li-Li, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Saya tidak pernah memberi kamu racun. Ramuan yang saya berikan kepadamu itu hanyalah penguat badan untuk menjaga kesehatan.... Satu-satunya racun yang ada adalah yang terdapat dalam pikiranmu sendiri dan di dalam sikapmu terhadapnya. Tapi semua itu telah disapu bersih dengan cinta yang kamu berikan kepadanya.''
Cinta memang dahsyat. Pepatah Cina kuno mengatakan: ''Orang yang mencintai orang lain akan dicintai juga sebagai balasannya.'' Dan, itu sudah dibuktikan Li-Li, walau pada awalnya karena keterpaksaan.
Oleh Widi Yarmanto (Gatra)
06 February 2006
Atas Nama Kebebasan
Penerbitan majalah Playboy, jika nantinya jadi, sesungguhnya mempertegas kondisi bangsa ini. Kemaksiatan, pornografi, dan pornoaksi telah menyerbu dari sangat banyak pintu. Lepas tengah malam, sebagian televisi kita mempertontonkan acara-acara konyol beraroma busuk, yang dibungkus apa yang mereka sebut gaya hidup kota besar. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) --yang bertugas mengawasi cara-acara televisi-- mungkin terlalu sibuk dengan dirinya.
Dalam kemacetan Tol Tomang dari Meruya, penjaja tabloid porno dengan bebas menjual dagangannya. Mereka membuka halaman-halaman bergambar perempuan berbusana sangat minim. Tidak ada yang melarang mereka. Mereka bahkan menempelkan halaman tabloid porno itu di kaca mobil pengguna jalan tol. Bayangkan jika di dalam mobil ada anak-anak, apa yang dapat dilakukan orang tuanya pada saat itu?
Di hotel-hotel, sebagian besar prostitusi dibungkus dalam fasilitas pijat dan spa. Lihat pula acara-acara televisi di sebagian besar hotel-hotel itu? Ada yang menyediakan blue film dan televisi asing peragaan busana, yang serba terbuka. Diskotek-diskotek sebagian besar menjadi tempat pertunjukan dan transaksi seks. Di tempat-tempat umum, remaja-remaja mengenakan busana yang bagian perutnya terbuka. VCD porno dapat dibeli di pinggir-pinggir jalan seharga sebungkus rokok.
Ini tidak hanya di kota-kota besar. Di pelosok-pelosok Sumatra Utara dikenal pertunjukan organ tunggal untuk menghibur tamu dalam hajatan. Semakin malam, di atas pukul 01.00, biduanita tidak saja melenggok seperti Inul Daratista, tapi --di hadapan penonton segala usia dan bahkan anak dan ayah-- satu-satu mereka melepaskan busana hingga terbuka. Ini sudah berlangsung sejak lama. Aparat hukum dan bahkan pemuka agama tak dapat berbuat apa-apa. Mereka seakan telah kehilangan wibawa.
Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kegusarannya melihat televisi mengumbar pusar perempuan, salah seorang aktivis perempuan justru mengkritik SBY. Dalam tulisannya di salah satu media massa nasional, aktivis tersebut menuding pemerintah telah campur tangan dalam urusan pusar perempuan. SBY dinyatakan telah melanggar prinsip pluralisme-demokrasi, melanggar kebebasan berekspresi.
Tidak itu saja, aktivis itu juga menyatakan Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi telah membuat demokrasi mati. Alasannya, negara tidak berhak sama sekali mengatur urusan pribadi perempuan, mengatur ruang keluarga, dan ranjang warga negara.
Begitulah jika demokrasi dan kebebasan telah menjadi agama baru, maka kepatuhan pada agama, ketakwaan, dan menjalankan seluruh nilai-nilainya, dianggap konservatif, melawan kebebasan berekspersi, dan bahkan dianggap tidak menghargai pluralisme. Demokrasi sesungguhnya tidak mati di tangan kaum yang menjunjung tinggi agama dan semua nilai-nilainya, melainkan mati lemas di tangan para pemujanya, yang memisahkannya dari seluruh nilai-nilai indah yang berlaku di masyarakat --seperti ikan dipisah dari air.
Pornografi dan pornoaksi telah masuk ke dalam banyak pintu rumah kita. Ia akan masuk dan terus menyelinap --dengan kekuatan dan dukungan para pemujanya-- ke setiap ruang, tak kecuali pada satu saat: Dia masuk ke gelas anak-anak kita, menetes, dan mengalir ke setiap pembuluh darah. Apakah kita membiarkannya atas nama kebebasan?
Oleh : Asro Kamal Rokan (Republika)
Dalam kemacetan Tol Tomang dari Meruya, penjaja tabloid porno dengan bebas menjual dagangannya. Mereka membuka halaman-halaman bergambar perempuan berbusana sangat minim. Tidak ada yang melarang mereka. Mereka bahkan menempelkan halaman tabloid porno itu di kaca mobil pengguna jalan tol. Bayangkan jika di dalam mobil ada anak-anak, apa yang dapat dilakukan orang tuanya pada saat itu?
Di hotel-hotel, sebagian besar prostitusi dibungkus dalam fasilitas pijat dan spa. Lihat pula acara-acara televisi di sebagian besar hotel-hotel itu? Ada yang menyediakan blue film dan televisi asing peragaan busana, yang serba terbuka. Diskotek-diskotek sebagian besar menjadi tempat pertunjukan dan transaksi seks. Di tempat-tempat umum, remaja-remaja mengenakan busana yang bagian perutnya terbuka. VCD porno dapat dibeli di pinggir-pinggir jalan seharga sebungkus rokok.
Ini tidak hanya di kota-kota besar. Di pelosok-pelosok Sumatra Utara dikenal pertunjukan organ tunggal untuk menghibur tamu dalam hajatan. Semakin malam, di atas pukul 01.00, biduanita tidak saja melenggok seperti Inul Daratista, tapi --di hadapan penonton segala usia dan bahkan anak dan ayah-- satu-satu mereka melepaskan busana hingga terbuka. Ini sudah berlangsung sejak lama. Aparat hukum dan bahkan pemuka agama tak dapat berbuat apa-apa. Mereka seakan telah kehilangan wibawa.
Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kegusarannya melihat televisi mengumbar pusar perempuan, salah seorang aktivis perempuan justru mengkritik SBY. Dalam tulisannya di salah satu media massa nasional, aktivis tersebut menuding pemerintah telah campur tangan dalam urusan pusar perempuan. SBY dinyatakan telah melanggar prinsip pluralisme-demokrasi, melanggar kebebasan berekspresi.
Tidak itu saja, aktivis itu juga menyatakan Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi telah membuat demokrasi mati. Alasannya, negara tidak berhak sama sekali mengatur urusan pribadi perempuan, mengatur ruang keluarga, dan ranjang warga negara.
Begitulah jika demokrasi dan kebebasan telah menjadi agama baru, maka kepatuhan pada agama, ketakwaan, dan menjalankan seluruh nilai-nilainya, dianggap konservatif, melawan kebebasan berekspersi, dan bahkan dianggap tidak menghargai pluralisme. Demokrasi sesungguhnya tidak mati di tangan kaum yang menjunjung tinggi agama dan semua nilai-nilainya, melainkan mati lemas di tangan para pemujanya, yang memisahkannya dari seluruh nilai-nilai indah yang berlaku di masyarakat --seperti ikan dipisah dari air.
Pornografi dan pornoaksi telah masuk ke dalam banyak pintu rumah kita. Ia akan masuk dan terus menyelinap --dengan kekuatan dan dukungan para pemujanya-- ke setiap ruang, tak kecuali pada satu saat: Dia masuk ke gelas anak-anak kita, menetes, dan mengalir ke setiap pembuluh darah. Apakah kita membiarkannya atas nama kebebasan?
Oleh : Asro Kamal Rokan (Republika)
01 February 2006
Penyesalan yang Terlambat
Sesuatu baru disebut terlambat jika alam sudah berganti wujud. Kadir meratapi diri saat harus merelakan rumahnya berpindah tangan ke pemilik baru. Serentetan penyesalan bermain-main di pikirannya. Salah satu yang disesali adalah kala dia salah menginvestasikan modal di bisnis sembako yang dipercayakan kepada kawannya. "Duh, kenapa saya mempercayakan kepada dia!" Itulah penyesalan yang beberapa waktu terakhir membayangi kehidupan dia.
Kadir adalah pengusaha motor bekas. Berawal dari hanya jualan satu-dua motor, kemudian dia berhasil menjadi juragan motor. Mapan di bisnis motor, dia melirik usaha sembako. Ini gara-gara salah seorang pembeli motor memberitahu bahwa bisnis sembakonya berkembang dengan skema yang berbeda dengan sistem konvensional. ''Pasti untung,'' kata orang itu meyakinkan.
Istri Kadir ragu, dan melarang suaminya ikut-ikutan bisnis sembako. Bagi dia, usaha motor sudah cukup. Apa lagi yang dicari? Benar saja, Kadir ditipu. Awalnya, satu-dua transaksi berjalan lancar. Namun, setelah Kadir membenamkan sebagian besar uangnya, modal itu malah dibawa kabur. Dan, bukan hanya uang Kadir yang dibawa lari, uang milik sejumlah orang di kampungnya pun ikut raib.
Celakanya, yang membuat Kadir lebih menyesal, modal yang ditanamkan di bisnis tersebut bukan hanya uang miliknya, melainkan juga duit pinjaman. Nasib! Maka, untuk menutupi modal pinjaman yang dilarikan, Kadir terpaksa pindah ke rumah kontrakan. Sakit, memang.
Suatu hari, Kadir ikut pengajian Wisata Hati, dan diceramahi bahwa penyebab datangnya rezeki adalah rasa syukur. Sedangkan penyebab semua rezeki dicabut adalah kufur (lupa diri). Allah akan selalu menyediakan jalan kebaikan buat mereka yang bersyukur.
Sebaliknya, ada pula jalan keburukan yang Allah sediakan buat mereka yang lupa diri.
Tanda-tanda syukur itu mudah dilihat. Yaitu, bila beribadah hanya kepada Allah, berlaku benar, dan menjalin hubungan dengan orang lain secara baik. Adapun tanda-tanda lupa diri adalah bila ibadah pada Allah berkurang atau malah tidak pernah beribadah, dan hubungan pada sesama tiada bagus-bagusnya. Tingkat lupa diri ini makin parah bila enggan bersedekah alias pelit, serta serakah.
Mendengar ceramah itu, Kadir mengamini. Ia juga langsung instrospeksi mengapa usahanya jatuh bangkrut dan merugi. Dulu, kala yang dia jual baru satu-dua motor, ibadah salat tak pernah ditinggalkan. Malah, kadang ia sempatkan berjamaah di musala. Bisnis motor itu ia tekuni setelah dirinya di-PHK dari kantor. Namun, kala bisnisnya maju, ia justru sering telat salat. Bahkan beberapa kali kelewatan atau tidak salat. Salat sunah dan puasa sunah, yang dulu rajin dikerjakan, belakangan juga ditinggalkan karena dirasakan berat. Ia lebih syur memburu duniawi. Padahal, semua itu merupakan sebagian pertanda bahwa hati dia sedang dilanda penyakit. Penyakit hati!
Introspeksi Kadir melecut kembali kesadarannya bahwa bisnis dia yang jatuh bangkrut merupakan sentilan Allah. Dulu, sebagai karyawan dia memiliki seorang anak yatim. Begitu ia di-PHK, Allah menghadiahkan bisnis motor yang penghasilannya melebihi gajinya kala jadi pegawai. Anak yatim itulah yang menyelamatkan kehidupan ekonomi dia. Itu semua disadari Kadir.
Namun, terus terang, kesadaran tersebut tidak menambah kebersyukuran Kadir. Keimanan dia juga tidak bertambah. Terbukti, kala bisnis motornya maju, anak yatim yang disantuni masih tetap satu. Kadir pun tersenyum sendiri menyikapi kekeliruannya. Padahal, mestinya dengan bertambahnya penghasilan, jumlah yang disedekahkan juga meningkat. ''Kesenjangan'' itulah yang diingatkan oleh Allah.
Kadir mengamini mengapa ia jatuh bangkrut dan merugi. Ia kembali mengilas balik kehidupan. Rupanya, ada pula kebiasaan yang ditinggalkan: silaturahim! Dulu, pergi ke kerabat atau sanak famili adalah sesuatu yang nomor satu. Ia rutin mengunjungi keluarga sendiri maupun keluarga istri. Kebetulan rumah keluarga dia dan rumah keluarga istrinya hanya berbeda kampung. Saban minggu ia luangkan waktu untuk silaturahim. Juga berkunjung ke kawan-kawan. Mulai dari menengok yang sakit, melayat yang meninggal, maupun bentuk silaturahim lain. Tapi, begitu bisnisnya berkembang, ia merasa sayang meluangkan waktu. Waktu adalah uang.
Di pengajian Wisata Hati, Kadir masih mendengar ustad berbicara, "Bersyukurlah bila Allah mengingatkan. Mengingatkan dengan serangkaian kejadian yang mungkin dirasa tidak enak. Mengapa? Sebab Allah menghendaki kebaikan. Allah Maha Merindukan hamba-hamba-Nya. Ketika Dia mendapati hamba-Nya menjauh dari-Nya, Allah akan mencari jalan agar hamba-Nya itu kembali. 'Dan Kami timpakan sebagian buruk akibat buruk perbuatan seseorang adalah agar ia kembali' (Q.S. As-Sajdah: 21)."
"Dan bila Allah masih mau memperingatkan kita, itu pertanda kita masih disayang Allah. Bila kita saat ini sedang bermasalah, entah itu jatuh bangkrut, dililit utang, terkena penyakit, piutang tidak tertagih, sulit punya jodoh dan/atau belum punya keturunan, sedangkan kita tahu bahwa kita tidak bagus beribadah kepada Allah, dan tidak bagus berhubungan dengan manusia... cobalah perbaiki dulu. Insya Allah, perbaikan hidup akan terjadi seiring dengan perbaikan diri. Dan, belum bisa disebut terlambat, kecuali ajal sudah menjelang. Selama masih hidup, semua masih mungkin dikejar dan diperbaiki...."
Kadir mendengar, dan mudah-mudahan telinga kita pun mendengar. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Kehidupan yang buruk terlalu mudah bagi Allah untuk mengubah menjadi baik. Sebab kekuasaan ada di tangan Allah. Sampai ketemu di pembahasan berikutnya. Insya Allah, kita akan membahas "bagaimana keluar dari keterpurukan".
Oleh Yusuf Mansur
di majalah Gatra
Kadir adalah pengusaha motor bekas. Berawal dari hanya jualan satu-dua motor, kemudian dia berhasil menjadi juragan motor. Mapan di bisnis motor, dia melirik usaha sembako. Ini gara-gara salah seorang pembeli motor memberitahu bahwa bisnis sembakonya berkembang dengan skema yang berbeda dengan sistem konvensional. ''Pasti untung,'' kata orang itu meyakinkan.
Istri Kadir ragu, dan melarang suaminya ikut-ikutan bisnis sembako. Bagi dia, usaha motor sudah cukup. Apa lagi yang dicari? Benar saja, Kadir ditipu. Awalnya, satu-dua transaksi berjalan lancar. Namun, setelah Kadir membenamkan sebagian besar uangnya, modal itu malah dibawa kabur. Dan, bukan hanya uang Kadir yang dibawa lari, uang milik sejumlah orang di kampungnya pun ikut raib.
Celakanya, yang membuat Kadir lebih menyesal, modal yang ditanamkan di bisnis tersebut bukan hanya uang miliknya, melainkan juga duit pinjaman. Nasib! Maka, untuk menutupi modal pinjaman yang dilarikan, Kadir terpaksa pindah ke rumah kontrakan. Sakit, memang.
Suatu hari, Kadir ikut pengajian Wisata Hati, dan diceramahi bahwa penyebab datangnya rezeki adalah rasa syukur. Sedangkan penyebab semua rezeki dicabut adalah kufur (lupa diri). Allah akan selalu menyediakan jalan kebaikan buat mereka yang bersyukur.
Sebaliknya, ada pula jalan keburukan yang Allah sediakan buat mereka yang lupa diri.
Tanda-tanda syukur itu mudah dilihat. Yaitu, bila beribadah hanya kepada Allah, berlaku benar, dan menjalin hubungan dengan orang lain secara baik. Adapun tanda-tanda lupa diri adalah bila ibadah pada Allah berkurang atau malah tidak pernah beribadah, dan hubungan pada sesama tiada bagus-bagusnya. Tingkat lupa diri ini makin parah bila enggan bersedekah alias pelit, serta serakah.
Mendengar ceramah itu, Kadir mengamini. Ia juga langsung instrospeksi mengapa usahanya jatuh bangkrut dan merugi. Dulu, kala yang dia jual baru satu-dua motor, ibadah salat tak pernah ditinggalkan. Malah, kadang ia sempatkan berjamaah di musala. Bisnis motor itu ia tekuni setelah dirinya di-PHK dari kantor. Namun, kala bisnisnya maju, ia justru sering telat salat. Bahkan beberapa kali kelewatan atau tidak salat. Salat sunah dan puasa sunah, yang dulu rajin dikerjakan, belakangan juga ditinggalkan karena dirasakan berat. Ia lebih syur memburu duniawi. Padahal, semua itu merupakan sebagian pertanda bahwa hati dia sedang dilanda penyakit. Penyakit hati!
Introspeksi Kadir melecut kembali kesadarannya bahwa bisnis dia yang jatuh bangkrut merupakan sentilan Allah. Dulu, sebagai karyawan dia memiliki seorang anak yatim. Begitu ia di-PHK, Allah menghadiahkan bisnis motor yang penghasilannya melebihi gajinya kala jadi pegawai. Anak yatim itulah yang menyelamatkan kehidupan ekonomi dia. Itu semua disadari Kadir.
Namun, terus terang, kesadaran tersebut tidak menambah kebersyukuran Kadir. Keimanan dia juga tidak bertambah. Terbukti, kala bisnis motornya maju, anak yatim yang disantuni masih tetap satu. Kadir pun tersenyum sendiri menyikapi kekeliruannya. Padahal, mestinya dengan bertambahnya penghasilan, jumlah yang disedekahkan juga meningkat. ''Kesenjangan'' itulah yang diingatkan oleh Allah.
Kadir mengamini mengapa ia jatuh bangkrut dan merugi. Ia kembali mengilas balik kehidupan. Rupanya, ada pula kebiasaan yang ditinggalkan: silaturahim! Dulu, pergi ke kerabat atau sanak famili adalah sesuatu yang nomor satu. Ia rutin mengunjungi keluarga sendiri maupun keluarga istri. Kebetulan rumah keluarga dia dan rumah keluarga istrinya hanya berbeda kampung. Saban minggu ia luangkan waktu untuk silaturahim. Juga berkunjung ke kawan-kawan. Mulai dari menengok yang sakit, melayat yang meninggal, maupun bentuk silaturahim lain. Tapi, begitu bisnisnya berkembang, ia merasa sayang meluangkan waktu. Waktu adalah uang.
Di pengajian Wisata Hati, Kadir masih mendengar ustad berbicara, "Bersyukurlah bila Allah mengingatkan. Mengingatkan dengan serangkaian kejadian yang mungkin dirasa tidak enak. Mengapa? Sebab Allah menghendaki kebaikan. Allah Maha Merindukan hamba-hamba-Nya. Ketika Dia mendapati hamba-Nya menjauh dari-Nya, Allah akan mencari jalan agar hamba-Nya itu kembali. 'Dan Kami timpakan sebagian buruk akibat buruk perbuatan seseorang adalah agar ia kembali' (Q.S. As-Sajdah: 21)."
"Dan bila Allah masih mau memperingatkan kita, itu pertanda kita masih disayang Allah. Bila kita saat ini sedang bermasalah, entah itu jatuh bangkrut, dililit utang, terkena penyakit, piutang tidak tertagih, sulit punya jodoh dan/atau belum punya keturunan, sedangkan kita tahu bahwa kita tidak bagus beribadah kepada Allah, dan tidak bagus berhubungan dengan manusia... cobalah perbaiki dulu. Insya Allah, perbaikan hidup akan terjadi seiring dengan perbaikan diri. Dan, belum bisa disebut terlambat, kecuali ajal sudah menjelang. Selama masih hidup, semua masih mungkin dikejar dan diperbaiki...."
Kadir mendengar, dan mudah-mudahan telinga kita pun mendengar. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Kehidupan yang buruk terlalu mudah bagi Allah untuk mengubah menjadi baik. Sebab kekuasaan ada di tangan Allah. Sampai ketemu di pembahasan berikutnya. Insya Allah, kita akan membahas "bagaimana keluar dari keterpurukan".
Oleh Yusuf Mansur
di majalah Gatra
First Posting
Alhamdulillah kesampaian juga niatan punya blog sendiri. Ini posting pertama gue. Sekedar buat ngetest aja.... mudah-mudahan bisa terus berlanjut
Subscribe to:
Posts (Atom)