Usai menulis Resonansi tentang hijrah pekan lalu, saya menerima pesan ringkas. "Memang mau hijrah ke mana?" Tentu saja pesan itu pesan seloroh. Pengirim pesan bukanlah orang yang tak mau hijrah. Sebaliknya, ia telah membuktikan diri sukses lantaran hijrah. Padahal, untuk hijrah itu ia harus meninggalkan posisinya yang telah mapan.
Semula ia bekerja di lembaga negara urusan pemeriksaan keuangan. Dengan kapasitasnya, ia sangat terpakai oleh kantornya. Jika mau, dengan mudah ia bisa kaya sebagaimana teman-teman seangkatannya. Tapi, ia memang pribadi unggul. Ia memilih keluar dari tempat kerjanya buat sekolah di sebuah institut manajemen terbaik di Asia. Keunggulannya pun berbuah. Ia lalu bekerja di sebuah badan dunia. Materi tidak kekurangan. Tapi, lebih dari itu, ia berkesempatan membantu sangat banyak warga miskin.
Banyak lagi orang-orang sepertinya: sukses setelah hijrah. 'Ke mana' hijrahnya berbeda-beda. Tapi semua yang berhijrah secara sungguh-sungguh bukan setengah-setengah-- selalu berhasil. Jadi, ke mana hijrah tak jadi soal, asalkan ke perubahan yang lebih baik. "Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin," sabda Rasul. Tentu esok harus lebih baik dari hari ini. Itulah ajaran Nabi. Agama selalu dihadirkan buat melakukan perubahan, walaupun agama kemudian juga selalu dipakai alasan untuk mempertahankan status quo.
Maka, Ahad lalu, teman-teman ngaji saya bersepakat hijrah. Hijrahnya adalah membuat perubahan sederhana namun nyata dalam hidup masing-masing. Bisa saja hijrah itu dalam bentuk berhenti merokok, berupaya selalu berjamaah di masjid lebih dari sekali dalam sehari (hal yang jarang dilakukan para eksekutif), membaca satu buku baru dalam seminggu, menjadi pendengar yang baik, lebih rutin berolahraga, tak marah menghadapi macet atau melihat kesalahan orang, tersenyum saat berpapasan dengan siapa pun, dan banyak bentuk hjrah lainnya.
Hijrah selalu mengantarkan pada yang baru. Dengan demikian, hijrah pada hakikatnya adalah belajar. Sedangkan belajar harus dilakukan sepanjang usia. Bila perlu, kata Nabi, sampai ke negeri Cina. Seorang pembelajar tak akan pernah memaksakan pahamnya sendiri. Termasuk paham yang dipandangnya sebagai kebenaran agama. Pembelajar selalu tahu, ilmu Allah jauh lebih luas dan dalam ketimbang yang dapat dipahaminya. Pembelajar selalu menghargai siapa pun --pejabat atau rakyat, kawan atau musuh-- karena ia tahu Allah pasti memberi kelebihan pada setiap orang. Maka, Rasul tak ragu minta pendapat Zaid bin Haritsah tentang persoalan keluarganya. Padahal, Rasul setiap saat dapat menerima wahyu. Sedangkan Zaid hanya seorang remaja.
Kita tentu ingin menghijrahkan umat dan bangsa ke keadaan lebih baik. Tapi, itu tak mungkin terjadi tanpa kita mampu menghijrahkan diri sendiri dalam urusan sehari-hari. Padahal, kita cenderung enggan menghijrahkan diri sendiri. Kita sering takut menghadapi sesuatu yang baru, karena baru selalu punya sisi tidak pasti. Kita takut pada ketidakpastian. Kita menyukai kemapanan. Yang miskin mapan dengan perasaan 'tidak berdaya, paling menderita, dan selalu jadi korban ketidakadilan dunia'.
Yang kaya dan berkuasa mapan dengan perasaan 'lebih hebat dari yang lain serta takut miskin'. Kemajuan apa yang akan diperoleh umat dan bangsa bila setiap kita enggan berubah, dan nyaman menjadi mapan? Misi para Rasul selalu mendobrak sikap mapan masyarakatnya. Rasulullah SAW tak hanya mendongkel kemapanan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan. Rasul tinggalkan kehidupannya yang mapan buat menempuh jalan dakwah. Rasul bahkan mengajarkan hijrah fisik: meninggalkan daerah asal yang membesarkannya buat hidup di daerah yang sama sekali baru. Itu teladan Rasul.
Tapi, sekali lagi, virus mapan seringkali telah sedemikian melekat dalam jiwa. Kita sama sekali tak menoleh teladan Rasul itu. Kita tetap saja enggan berhijrah dalam perilaku dan bahkan fisik. Dalam beragama, kita memilih menjalankan ibadah formal saja. Padahal, hijrah selalu mengantarkan pada sukses. Bukan hanya di akhirat kelak, tapi juga di dunia. Itulah yang telah ditunjukkan Rasul dan para pengukir peradaban dulu. Jadi, mari hijrah ke manapun yang lebih baik.
Oleh : Zaim Uchrowi (Republika)
10 February 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment