Di suatu sore di Perumahan Nogotirto tanggal 25 April 2006, seorang lelaki separuh baya menawarkan tali plastik kepada saya. Karena saya mau beli, meteran lalu dikeluarkannya untuk mengukur tali itu. Penampilannya yang lugu dan polos telah menggoda saya untuk mewawancarainya. Bicaranya yang agak kurang jelas dalam bahasa Jawa, bisa saya tangkap 100 persen. Sambil mengeluarkan SIM C-nya, ia menyebut namanya Asrori (45). Berasal dari Mlangi, desa yang banyak pesantrennya, tidak jauh dari perumahan.
Saya tanyakan, mana sepeda motornya? Dijawab, sudah dijual untuk ongkos anak sekolah. Anak nomor 1 dan 2 rampung SMP langsung masuk pesantren yang tidak jauh dari rumahnya dengan biaya all in dua beradik hanya Rp 125 ribu. Luar biasa bukan? Anak nomor 3 masih SD, sedangkan yang nomor 4 baru berusia dua tahun.
Istrinya yang pernah dua kali ke Saudi kini menerima pesanan jahitan dengan pendapatan yang tidak seberapa. Di Saudi, istrinya hampir saja diperkosa oleh orang Arab, tetapi diselamatkan Tuhan. Kita tidak tahu sudah berapa banyak TKW kita yang menjadi korban kenekatan jahanam ini di berbagai belahan bumi. Menurut Asrori, penghasilan mereka sekarang hanyalah sekadar untuk menyambung hidup dari hari ke hari.
Sudah sejak 1975 Asrori mengelilingi Yogya dengan tali plastiknya bersama sepeda tua yang dikayuhnya ke sana ke mari. Di samping plastik, ada juga obat tikus, dan lain-lain. Ditaruhnya dalam sebuah kotak kayu kecil. Jika dagangannya laku sampai Rp 75 ribu sehari, untung bersihnya hanyalah sekitar 25 persen.
Ketika nama saya ditanyakannya, saya jawab Syafii Maarif. ''Sama dengan Maarif yang mengurus masalah pendidikan itu,'' komentarnya. Mlangi memang dikenal sebagai salah satu benteng NU dengan para kiainya. Asrori tampaknya adalah warga NU yang mudah sekali akrab dengan orang lain yang baru dikenalnya.
Dari pembicaraan kami sore itu, sadarlah saya bahwa manusia Asrori adalah tipe manusia yang penuh tawakal dalam mencari rezeki. Filosofinya sederhana: Asal bergerak, Allah pasti memberi imbangan. Dikatakannya, malam ia biasa shalat Tahajud, pagi hari shalat Dhuha sambil memohon kepada Allah agar senantiasa dilindungi dan diberi rezeki yang halal. Perkataan halal ini diulang-ulangnya. Mungkin ia tahu sebagian masyarakat sudah tidak hirau lagi dengan masalah halal-haram. Asal dapat, jangan ditanya lagi dari mana sumbernya. Asrori punya kepekaan batin untuk tidak terjebak pada yang haram.
Sekalipun hidupnya sangat sederhana, di wajahnya tidak terbayang tanda kegelisahan dan kemuraman. Ia pasrah, tetapi harus bergerak terus tanpa henti saban hari. Dengan caranya sendiri, Asrori mengayuh bahtera hidup ini tanpa grusa-grusu (tergopoh-gopoh). Ia tenang, setenang sepeda tuannya yang setia. Bila lewat perumahan, sepedanya biasa dituntun sambil menawarkan barang dagangannya. Saya tidak tahu mengapa baru sekarang ini berjumpa Asrori, padahal saya sekeluarga telah tinggal di perumahan ini sejak 1985.
Mungkin ketika lewat perumahan, saya kurang memperhatikannya selama ini. Saya teringat dalam salah satu karya Hamka yang menggambarkan bahwa boleh jadi di rumah-rumah besar dan mewah air mata lebih banyak tertumpah karena kebahagiaan tidak kunjung datang, dibandingkan dengan rumah-rumah sederhana dan kecil. Tentu kita tidak perlu mengidolakan seorang Asrori. Tetapi, ketabahannya dalam melangsungkan hidup secara halal selama 31 tahun, patut dicatat. Tidak mustahil manusia seperti Asrori ini akan lebih dulu masuk surga dibandingkan dengan penulis Resonansi ini yang kadang-kadang masih juga gelisah tanpa suatu sebab yang jelas.
Tampaknya Asrori punya rasa tawakal melebihi saya. Berkali-kali saya pandang wajahnya sambil ia terus saja berbicara. Kepasrahannya yang tulus adalah modal utamanya dalam menghadapi serba kesulitan hidup yang sedang menerpa jutaan anak bangsa ini.
Untuk membiayai rumah tangga, Asrori berbagi tanggung jawab dengan istrinya. Masalah beras adalah bagian istrinya, lauk pauk dan biaya anak menjadi tanggung jawabnya. Mungkin pendapatannya bergerak antara Rp 600 ribu dan Rp 700 ribu per bulan dengan jumlah enam mulut yang harus diberi makan. Dua anaknya yang belajar di pesantren mengunjungi orang tuanya sekali dalam satu minggu. Kata Asrori, di rumah mereka dibiarkan makan secukupnya, tetapi tidak boleh sambat (mengeluh) jika lauk pauknya tidak memadai. Yang sedikit memprihatinkannya adalah anaknya yang kedua suka merokok murahan. Sudah ditegur berkali-kali, tetapi belum berhasil. Tentu dibandingkan dengan penghisap narkoba, kebiasaan merokok bocah ini tidak ada apa-apanya, tetapi tokh orang tuanya tetap tidak rela.
Bagi saya, Asrori adalah simbol rakyat kecil yang tetap menjaga cara hidup halal, sekalipun ia harus menggenjot sepeda tuanya dalam jarak sekitar 30 km setiap hari selama 31 tahun. Ia pantang menyerah. Keluguannya dalam berbicara adalah pertanda bahwa batinnya bersih. Hidup yang begini ganas disikapinya dengan cara yang sangat elegan (halus). Itulah sosok Asrori, sahabat kita semua.
Oleh Syafii Maarif (Republika.co.id)
19 May 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment