13 April 2006

Gen Korupsi

VAN Gogh melukis untuk memuaskan perasaan sendiri, itu lumrah. Koruptor yang menggendutkan perut sendiri dengan me-mark up atau me-mark down proyek pemerintah, tentu tidak lumrah. Bahkan, ada yang menyebut dengan kasar: ''Bangsat!'' Di saat ekonomi morat-marit dan banyak karyawan dirumahkan, mereka justru berpesta-pora.

Sebagai pejabat, yang gaji dan tunjangannya cukup untuk hidup sebulan, masih mengumbar keserakahan, memang keterlaluan. Demi gengsi, pujian, dan kehormatan, dia merasa tak pantas tinggal di rumah biasa. Obsesinya, ''Harus sejenis rumah di Pondok Indah,'' kata Abdullah Hehamahua, penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (PKK).

Dalam diskusi bertajuk ''Peran Pers dalam Pemberantasan KKN'' di Gedung Pers, Semarang, awal Maret itu, ia membeberkan beragam ulah pejabat dan istri, yang, antara lain, tak sudi berbelanja di pasar tradisional, melainkan di supermarket atau hypermarket. Lalu tiap akhir pekan shopping di Singapura dan Hong Kong.

Mereka tak peduli wong cilik, dan tak punya rasa malu. Padahal, seorang PSK, kala tertangkap dalam razia, menutup wajah saat disorot kamera TV. Bandingkan dengan tersangka koruptor. Usai diperiksa penegak hukum malah tersenyum bangga, dan kasih keterangan pers. ''Jadi, PSK itu masih punya rasa malu dibandingkan dengan koruptor,'' ujar dia.

Di mata Abdullah, perilaku sebagian masyarakat yang enggan berurusan dengan pejabat di kantor, dan mencari kemudahan dengan mendatangi rumah si pejabat, termasuk yang mengentalkan proses korupsi. Kedua pihak telah meletakkan fondasi ''korupsi sistemik.''

Urusan di kantor lain pula. Silakan pilih: mau jalan tol atau jalan biasa! Lewat tol urusan lebih cepat, tapi pakai bayaran. Adapun yang memilih jalur biasa --sesuai birokrasi-- juga tidak dilarang. Hanya saja, urusan bisa kelar dalam hitungan hari, minggu, atau bahkan bisa berbulan-bulan. Praktek seperti ini tampak subur di sektor pelayanan publik.

Contoh lain adalah bus PPD dan kereta api Jabotabek, yang tak pernah untung. Padahal, tiap hari disesaki manusia, bahkan sampai bergelantungan. Rupanya, kerugian itu disebabkan oleh aturan penumpang membayar pada petugas. Berbeda dengan di Singapura, Kuala Lumpur, dan Tokyo yang membayar pada mesin, yang tidak akan dikorup.

Simak pula guru-guru waktu kenaikan kelas. ''Pada pesta,'' tutur Abdullah. Dosen sama saja: minta diberi tanda terima kasih oleh mahasiswanya. Wartawan usai konferensi pers juga masih menunggu sesuatu. Apa? Amplop! Walau Abdullah tidak memungkiri peran pers dalam memberantas korupsi yang cukup besar.

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi juga digolongkan korupsi. Gratifikasi itu, dalam arti luas, bisa meliputi barang, diskon, komisi, tiket perjalanan, dan akomodasi. Sayangnya, undang-undang ini tak secara tegas menetapkan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan keluarga atau partai, tergolong korupsi atau tidak.

Menurut mantan Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) itu, ''Presiden atau wakil presiden yang bertugas ke daerah yang dibiayai negara, lalu mengumpulkan ketua-ketua partai, itu pun termasuk KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).'' Memakai fasilitas kantor untuk kebutuhan keluarga digolongkan KKN.

Maka, jangan heran jika indeks persepsi korupsi Indonesia sangat tinggi (2,2%), kebocoran dana pembangunan 45%, dan pungutan liar menyedot 30% dari biaya produksi. Buntutnya adalah ekonomi berkembang lambat (4,8%), rakyat miskin 16,6%, dan pengangguran 9,7%. ''Strategi pembangunan ekonomi yang mengejar pertumbuhan --bukan kesejahteraan rakyat-- akan melahirkan korupsi,'' kata Abdullah.

Celakanya, keberpihakan pemerintah dalam mengikis koruptor, masih pilih kasih. Adapun strategi KPK memberantas koruptor adalah, ''Ambil domba yang tercecer,'' katanya. Maksudnya, comot yang bisa dicomot. Jika izin dari presiden untuk memeriksa koruptor sulit atau dipersulit, ''Ya, periksa yang tak perlu izin.''

Kemudian, agar mata rantai korupsi terpangkas, Abdullah usul, ''Jangan menghadiri undangan dari koruptor dan keluarganya. Jangan mengundang koruptor atau keluarganya dalam acara Saudara. Jangan beristri/bersuami, bermenantu/bermertua, beripar/berbesan dengan koruptor atau keluarganya. Juga jangan mensalatkan jenazah koruptor,'' kata mantan Ketua Umum HMI tahun 1979-1981 itu.

Dari paparan tersebut, Abdullah mungkin tak bermaksud melahirkan gerakan baru. Ia juga tidak mempropagandakan penderitaan dan keterbelakangan bangsa. Ia hanya menyuguhkan kemiskinan dan keserakahan. Ia ingin agar orang menjadi tahu bahwa negara ini bisa porak-poranda oleh budaya korupsi yang tengah menggurita.

Tampaknya, di Gedung Pers itu, Abdullah tak sekadar menggelorakan semangat. Ia juga memberi contoh nyata. Di akhir diskusi, misalnya, ia tidak mau menyentuh minuman yang disuguhkan oleh panitia. Takut santet? Bukan. ''Sesuai kode etik, setiap anggota KPK dalam menjalankan tugas tidak boleh menerima apa pun, termasuk minum,'' ujar pria.

Luar biasa! Pria yang pernah empat kali masuk penjara --termasuk dipenjara seminggu karena memberitakan ulah polisi brengsek-- itu, memang sarat pengalaman. Ia pernah ditahan dua tahun karena membongkar kasus korupsi Gubernur Sulawesi Selatan. Ia juga akan dibunuh aparat karena membongkar sebuah konspirasi di pengadilan negeri.

Di akhir makalahnya, Abdullah memaparkan sebuah penelitian di Amerika Serikat (1999) atas orang-orang yang bunuh diri. Ternyata pada mereka ditemukan gen bunuh diri. Tampak tak masuk akal, memang. ''Apakah mungkin dalam diri koruptor di Indonesia juga ditemukan gen korupsi? Hemat saya, itu tidak mustahil,'' tulis Abdullah.

No comments: