oleh: Yogas Wati
sumber: http://www.family-writing.com/
Ketika itu, akhir Desember 2001. Sebuah perjalanan berharga kami lakukan. Tias, anakku semata wayang yang lahir di Bandung dan besar di Jakarta, melakukan perjalanan panjang pertamanya. Waktu itu umurnya 3 tahun 10 bulan dan saat itu kami mo balik ke Aceh (Lhokseumawe), setelah si Abah selama 5 tahun menyelesaikan masa penugasannya di Jakarta (tapi sejak pertengahan 2005 kami telah pulang kampung kembali ke Bdg, dan ntah mau rantau ke mana lagi).
Mau naik pesawat untuk yang pertama kali ia senaaang sekali. Sepanjang perjalanan dari rumah hingga di bandara, saat menunggu pemberangkatan, ia senantiasa bernyanyi-nyanyi, dan asyik main sendiri, mengeksplorasi lingkungan sekitar sambil terlihat mengobrol sendiri, memainkan jari, duduk dipojok sana-sini, tenggelam dalam imajinasi…
Kami hanya mengawasi dari kejauhan sambil merasakan kegembiraan yang ia rasakan..
Di pesawat, ia memilih tempat dekat jendela. Ketika pesawat berada di tengah bongkahan awan, yang bak salju berwarna putih abu keperakan ditimpa cahaya matahari pagi… . kadang juga terkesan seperti hamparan kapas yang membentuk gerombol-gerombol raksasa seperti bunga kol. Di sebagiannya seperti menampakkan gua-gua dan di sebagiannya menghampar luas tak berbatas, bak Padang Masyhar? sungguh menakjubkan.
Hening, kami tenggelam dalam imajinasi masing-masing. Dalam hati, tiap memandangi kehebatan pemandangan awan ini, saya berdzikir..Subhanallah Walhamdulillah Walaaailaaha Illallah Wallaahu Akbar.
Tiba-tiba , Tias mengagetkanku, dengan pertanyaan, “Bu…, di awan sana ada Alloh ya?!”.
Iya, jawabku.
“Ada malaikat-malaikat juga ya Bu?!”
Iya, jawabku lagi, pendek, sambil bergumam dalam hati , “Tias, kamu juga ngerasain ya, melihat pemandangan yang menakjubkan ini jadi teringat Allah”.
Selagi pikiranku menerawang begitu, ia berceloteh lagi, “Bu, kalau Allah ditembak Ia pasti jatuh ya!!”
Hah…, aku agak terperanjat.
“Ya, nggaklah!” kataku. “Alloh itu Maha Hebat, mana ada dia bisa jatuh ditembak!”
“Iya..!!.” katanya.
“Tidaklah Nak” jawabku lagi, tidak kreatif.
“Ah, iya, pasti Jatuh..!!” anakku mempertahankan logika pemikirannya.
Ah, otakku ini memang tumpul, dikagetkan dengan pertanyaan mendadak seperti begini aku belum bisa menjawabnya. Lagi pula akupun cape, dan ngantuuk sekali, lagi malas memeras pikiran untuk ngejelas-jelasin. Jadi aku abaikan saja…
Selama ini aku memang baru mengenalkan Allah kepada Tias dengan Asmanya yang Maha Penyayang, telah memberi kita rejeki, mainan, ibu untuk Tias, maka Tias pun harus bersukur dan penyayang seperti Beliau, mau berbagi dengan teman, nggak nakal sama ibu, dll. Ya..kaya begitu-begitulah.
Tapi aku belum pernah mencoba mengenalkan atau mengajaknya untuk memikirkan “Sosok Allah”, karena hal ini juga hanya pernah aku pikirkan beberapa saat di waktu muda dulu, itu pun tidak terlalu mengkritisi. Lagian anakku juga masih kecil, belum kepikiran cerita ke sana.
Waktu berlalu…
Beberapa bulan kemudian, sekitar 4 tahun 2 bulan, ketika kami sedang bermain bersama di rumah, ia mengajukan lagi pertanyaan tentang Allah.
Tanyanya, “Bu Allah, itu matanya banyak ya…”
Ya nggaklah, jawabku lagi-lagi tergagap.
“Kan Allah bisa melihat dimana-mana,” sambung anakku cepat.
“Iya, Alloh memang Maha Melihat, Ia bisa tahu keadaan yang ada di Bandung, di kantor Abah, di rumah kita, dll, tapi mata Allah nggak kaya mata kita manusia..” jawabku sekenanya.
Sejujurnya aku cukup bingung, belum rajin baca-baca literatur “Bab menerangkan keberadaan Allah pada Anak”.
“Kepala Allah itu pasti besaaar sekali ya Bu!” lagi-lagi anakku mengeluarkan stigma-stigma yang sedang berseliweran di pemikirannya.
Tawaku hampir meledak, geli, membayangkan bagaimana ia membayangkan. Tapi, Oh…lagi-lagi pikiranku tumpul, gak siap dengan pertanyaan-pertanyaan begini dari anakku. dan aku hanya menjawab, dengan bantahan yang itu-itu juga, “Ya nggaklah, Allah tidak berkepala seperti kita….Allah itu berbeda dengan kita. Ia tidak bisa dibayangkan dan tidak bisa dilihat oleh mata kita.”
Anakku tampak bingung, aku melanjutkan lagi, “Nah seperti angin…Nih… (aku meniupnya). Adakan?” tanyaku.
Tias mengangguk, “Tapi gak kelihatan kan?!” tanyaku lagi kepadanya.
Tias diam. ” Jadi Alloh juga seperti itu, Dia ada, tapi tak bisa dilihat.”
“Alloh itu laki-laki apa perempuan Bu?” tanya anakku tampaknya masih penasaran.
“Ya Alloh itu gak laki-laki, gak perempuan. Yang ada jenis kelaminnya itu kan hanya kita manusia yang Allah ciptakan, tapi Allah sendiri mah yang menciptakan kita, gak berjenis kelamin” (padahal aku juga ragu arti jenis kelamin bila dikaitkan dengan mudzakar - muannasnya kata yang digunakan dalam Al-Qur’an. Tak tahulah ilmuku juga sangat terbatas)
Tias cemberut. Aku mencoba mencari penjelasan tambahan, “Adakan di dunia ini juga yang tidak berjenis kelamin. Coba kamu perhatikan hayoo… tembok, kursi, .. dia laki-laki apa perempuan ? nggak kan? Nah jadi Allah juga begitu, Ia tidak berjenis kelamin…”
Belum lagi aku dapat menemukan kata-kata lengkap yang dapat menjawab kepenasaran pikiran anakku, ia telah menungkas dengan nada tinggi, kesal dan mungkin marah, “Tahulah, Tias! Allah itu jelek! Nggak punya mata, nggak punya kepala!!!”
Aku terdiam. Aku terperangah. Tapi aku sadar, ia kecewa dengan jawaban-jawabanku.
Betapa kecewanya anakku, menerima jawaban-jawabanku, yang tak dapat ia susun ke dalam pengertiannya menjadi sebuah penjelasan utuh yang menerangkan.
Aku beristighfar di dalam hati, “Ya Alloh, maafkanlah kami. Maafkanlah Anakku yang telah melontarkan kata-kata kasar terhadap-Mu karena ketidaktahuannya. Dan ampunilah hamba yang tidak dapat memberikan penjelasan yang menunjukkan KebenaranMu kepadanya”.
Aku amat sedih sekali. Kasihan melihat kekecewaan anakku yang tidak mendapat kepuasaan tentang “Sosok Allah” yang ia coba ingin kenali. Dan aku kecewa kepada diriku sendiri yang belum mampu memberinya penjelasan yang bisa ia fahami.
Tengah malam aku terbangun, shalat dan memohon petunjuk-Nya agar aku diberi pengetahuan agar dapat memperkenalkan DiriNYA dengan benar kepada anakku.
Alloh memberiku INSIGHT, Alhamdulillah.
Keesokan harinya, selepas ia pulang dari TK, aku memohon maaf padanya. Aku katakan padanya, “Tias, ibu minta maaf atas kejadian kemarin. Ibu tidak dapat menjelaskan padamu seperti apa Allah itu. Karena Ibu pun tidak tahu. Ibu sendiri tidak pernah melihat Allah. Dan tidak ada seorangpun yang pernah dan dapat melihat Allah, sekalipun nabi Muhammad. Sehingga siapapun yang ditanya seperti apakah Allah itu pasti tidak akan ada yang bisa menjawabnya. Tapi Alloh itu Ada, hanya Dia tak dapat dilihat oleh mata kita, karena keterbatasan mata”.
Lalu aku mengajaknya untuk masuk dan melihat isi kamarnya, dan menyebutkan nama-namanya. Kemudian aku mengajaknya ke luar kamar, dan memintanya menunjukkan isi ruang kerja Abah, dari balik tembok, setepat ketika ia masuk dan menunjukkan isi kamarnya.
Dia gak bisa. Lalu ku tanya kenapa? “Terhalang tembok,” katanya.
Di situ aku tunjukkan, itulah keterbatasan mata manusia. Terhalang tembok aja kita dah gak bisa tahu lagi apa yang ada di belakangnya. Mata kita tidak dapat melihat segala.Lalu aku mengajaknya mengintip dari jendela kamar, pemandangan di luar, ke pekarangan rumah kami. Kami biasa bercerita di sana sambil menikmati pemandangan dari dalam ke luar yang indah…, sedang kalau siang-siang ke luar, udara di luar sangat panas..
Di luar sana ada pohon mangga yang sedang berbuah banyak. Aku mengajaknya mengingat-ngingat kembali ketika buah-buah itu masih berbentuk bunga, lalu rontok, jadi buah kecil, buah besar yang mentah, hingga jadi buah yang masak dan dipetik lalu dimakan wow enak… Aku bertanya kepadanya, siapa yang melakukan semua ini?
Ibukah? Abahkah? Tiaskah? atau orang lain? gak ada.. Gak ada orang yang bisa melakukan ini. Kalau dicoba, melakukan juga yang seperti ini (membuat mangga) gak ada yang bisa, paling kita manusia bisanya bikin lukisan pohon atau buah mangga, atau membuat mangga-manggaan dari kayu maupun plastik, sebagai hiasan atau mainan. Tapi ini Kok ada? pohon buah dan buah ini ada? Inilah, inilah Allah yang membuatnya. Apa kelihatan tangan-tangan Allah (sambil kumainkan jemariku) membuat bunga jadi buah kecil, dan jadi besar? Nggak juga kan?”
Itulah, karena Allah tidak kelihatan dan Ia pun tidak memiliki tangan-tangan seperti kita. Allah tidak sama dengan manusia. Tapi Allah ada. Buktinya mangga-mangga ini jadi ada kan yang tadinya tidak ada. Dibuat oleh Allah. Ia membuat sesuatu dengan sangat Hebat, bila Allah sudah berkehendak untuk membuat mangga, “maka akan jadilah mangga”.
“Ia lakukan semua ini karena sangat sayangnya….pada kita. Ia buatkan untuk kita buah-buahan yang enak, segar, bervitamin, seperti apa lagi ayo….”
Lalu dia menyebutkan berbagai macam buah, juga sayur dan makanan lain yang lezat.
“Jadi Tias sayang gak sama Allah, yang telah begitu baik sama kita membuatkan bermacam-macam buah dan makanan?”
Ia menjawab dengan semangat, “Sayang…!!”
Aku juga mengajaknya merenungkan apa yang terjadi di perutku. Saat itu aku sedang hamil anakku yang keenam (oh..andai dia ada). Kuajak dia memikirkan, dari saat di perutku itu belum ada apa-apa, sampai dinyatakan hamil oleh suster yang memeriksa. “Waktu itu gak kelihatan ada apa-apa, lalu perut Ibu membuncit, membesaar…, hingga ada sesuatu yang kini sering bergerak-gerak, bisa dirasakan oleh Tias, yakin ada isi ade bayi di perut ibu. Itulah si ade bayi yang Allah tumbuhkan di perut Ibu. Dan Allah melakukannya, membuatnya, tapi hebatnya….gak kelihatan oleh kita.”
Kalau Ibu bikin kue aja, atau Tias bikin masak-masakan dedaaunan, uh… berantakannya.. Tapi Allah tidak. Ia membuat segala sesuatu tanpa terlihat oleh kita, tapi hasilnya jelas terlihat oleh kita. Dan hasilnya luar biasa dapat dinikmati oleh kita dan tak dapat ditiru oleh kita.
Setelah menunjukkan hasil karya Allah, kukatakan, “Nah, sekarang Tias bisa tahu Allah itu ada kan?” tanyaku.
” Iya”, jawabnya mantap.
Aku melanjutkan, tapi seperti apa Allah itu rupanya, kita tidak ada yang tahu, karena mata kita terbatas…tidak bisa melihatnya, dan hanya Allah sendiri saja yang tahu seperti apa rupa Allah. Nah ini kita katakan sebagai “Wallahualam bi sawab” artinya hanya Alloh sendiri saja yang tahu..
Alhamdulillah ia tampak mengerti dan puas.
Suatu hari lain - mungkin terinspirasi oleh filmnya Harun Yahya yang kami tonton bersama tentang penciptaan alam semesta, dia berargumen, ” Bu…, waktu bumi ini belum diciptakan, kita pasti bisa melihat Allah ya?!”
“Kenapa?” aku balik tanya.
“Kan belum ada langitnya,” jawabnya. Maksudnya belum ada langit yang menghalangi pemandangan kita ke atas sana. Karena mungkin aku pernah juga cerita Allah itu ada di atas Arasy, yang merupakan kerajaanNya, jadi kita sering berkonotasi Allah itu memang di atas.
Lalu jawab ku “Mana kita tahu, waktu bumi belum diciptakan, manusianya juga kan belum ada, jadi apa tuh…”.
“Wallahualam bi sawab” jawabnya dengan tangkas.
“Iya, benar sayang… Wallahualam bi sawab. Hanya Allah sendiri saja yang tahu,” kataku haru..
Robbii hablii milladunka dzurriatan toyyibah,innaka antasamii’uddu’aaa.Amin.
18 September 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
salam kenal
Post a Comment