30 March 2007

5 Bulan Umurnya

Tgl 20 kemaren, umurnya Afis genap 5 bulan. Eyangnya di Bandung udah nagih lagi minta fotonya. Paling nggak tiap bulan harus ngirim foto katanya, jadi biarpun jauh tapi eyangnya tetap bisa lihat perkembangan cucunya....
Ini beberapa foto yg dikirim....










21 March 2007

Pernikahan yang Akrab

Oleh : Zaim Uchrowi (Republika)

Baru-baru ini saya menghadiri pernikahan seorang kerabat. Pesta pernikahan itu biasa saja. Bukan di gedung besar. Bukan pula penuh pernak-pernik yang membuatnya megah. Sebaliknya, perhelatan itu justru dilakukan di rumah. Cukuplah tenda terpasang di halaman serta jalan buntu di depannya. Sebuah tenda biasa, dan bukan tenda paling megah, Makanan ditempatkan di meja sederhana bertaplak putih di garasi rumah itu.
Jumlah undangannya tidak banyak. Hanya kerabat dekat dan sahabat kedua mempelai yang hadir. Pembawa acara serta pembaca doa kerabat sendiri. Musik dimainkan oleh teman-teman pengantin. Tidak ada beragam upacara adat yang rumit yang mengiringi pernikahan itu. Pakaian serta tata rias pengantin juga biasa saja. Cuma sedikit lebih formal dibanding pada hari biasanya, namun cukup anggun untuk dipandang sebagai gambaran pernikahan.
Sekali lagi, tak tampak hal luar biasa dari acara perbnikahan itu. Tetapi, saya merasa sangat nyaman berada di sana. Ada suasana yang jarang saya peroleh dari menghadiri kebanyakan pesta pernikahan pada acara tersebut. Saya merasa, suasana pernikahan itu sangat akrab. Pembawa acara dengan sangat ringan menyapa, bahkan berseloroh, pada tamu-tamunya. Hal itu wajar karena memang ia mengenalnya persis.
Antarkawan juga bisa saling dorong untuk menyanyi, atau memainkan musik. Para tamu juga saling sapa, hingga berbincang akrab. Pengantin juga tak harus terus-menerus berdiri tegak di tempatnya dengan terus-menerus memasang senyum anggun, menunggu diberi ucapan selamat. Sesekali, mereka seperti 'menjemput bola', berjalan (kadang bersama, kadang sendiri-sendiri) mendatangi tamu, bertukar kata secara ringan.
Suasana pernikahan demikian sungguh berbeda dengan pesta pernikahan yang kini lazim. Tapi, suasana itu justru mampu mengingatkan: apa makna pesta pernikahan? Kita acap merancang pesta pernikahan seagung dan semegah mungkin. Alasan kita, itu hari yang benar-benar istimewa. Lalu, kita merancang segalanya agar sempurna. Mulai dari bentuk undangan, atribut kenang-kenangan, seragam pakaian, tempat pelaminan, makanan, hiburan, dan sejuta pernak-pernik lainya.
Begitu banyak yang harus diurus, dan begitu banyak yang ingin mengurus agar benar-benar sempurna. Hasilnya, seringkali pesta pernikahan justru menjadi ajang ketegangan keluarga. Alih-alih melahirkan suasana yang hangat, pesta pernikahan banyak yang kemudian menjadi sekadar formalitas. Pesta pernikahan kita acap bergeser fungsi dari acara bersyukur dan memohon doa menjadi ajang pamer gengsi dan atribut diri. Banyak tamu hadir dengan perasaan terpaksa. Tak enak tidak datang karena sudah diundang. Jika demikian, doa restu apa yang dapat kita harapkan?
Kesederhanaan dalam pernikahan hari itu menyeret saya pada pertanyaan yang dalam. Apa ya sulitnya berpikir dan bersikap sederhana seperti itu? Jangan-jangan kerumitan kita dalam menggelar pesta perkawinan adalah refleksi dari kerumitan cara berpikir dan bersikap secara menyeluruh. Kita lebih mementingkan atribut ketimbang makna. Kita memenangkan formalitas dibanding otentitas dan spontanitas. Kita mengedepankan gengsi ketimbang esensi. Pantas jika bangsa kita masih jauh dari efektif.
Banyak program pembangunan kita buat, anggarannya pun dahsyat, dan kita menganggapnya hebat, namun kenyataannya kondisi rakyat masih jalan di tempat. Banyak kerja ilmiah kita lakukan, namun dunia ilmu masih saja di 'situ-situ'. Banyak dakwah dan ceramah dilakukan, tapi maksiat --termasuk korupsi-- masih saja ramai berjalan.
Semua itu tampaknya berpangkal pada kita yang tidak lagi mampu berpikir dan bersikap sederhana. Akibatnya kita makin terkendalikan atribut, dan terjauhkan dari makna. Itu yang makin mengasingkan kita (termasuk sebagai bangsa) dari kehidupan yang berkah. Pernikahan sederhana yang akrab di siang itu mengingatkan saya pada kesalahan besar kita selama ini.

10 March 2007

Sebuah Cermin Bernama Bencana

Oleh : Zaim Uchrowi (Republika)

Mahasuci Allah, pemilik seluruh alam semesta dan segenap jiwa! Kita dipersaksikan-Nya pada Indonesia yang belum pernah ada di masa-masa sebelumnya. Di Sidoarjo, Jawa Timur, lumpur terus saja menyembur, banjir merendam Jakarta, angin beliung merobohkan rumah-rumah (termasuk yang baru dibangun setelah gempa) di Yogya, longsor mengubur desa-desa di Manggarai, Flores, lalu rata pula Sumatra Barat oleh gempa. Entah seberapa besar kehidupan yang terempas oleh semua itu.
Kita dipersaksikan-Nya pula pada bencana kemanusiaan lainnya. Polio dan malnutrisi pada balita masih saja menjadi cerita. Demam berdarah terus aktif merenggut jiwa. Flu burung bukan saja belum teratasi, tapi juga membuat kita menjadi ajang bulan-bulanan dunia. Belum lagi permainan sindikasi kesehatan global yang membuat cairan infus pun menjadi barang langka dan mahal.
Kehidupan rakyat juga kian kembang kempis. Para nelayan harus menambatkan perahu-perahunya. Jumlah tangkapan ikan, harga solar, maupun cuaca tak bersahabat dengan mereka. Begitu pula nasib para petani. Banyak sawah tergenang air. Musim tanam harus ditunda. Pengusaha kecil menengah juga menjerit. Menurut mereka, tak pernah keadaan sesulit sekarang. Di tingkat bawah, ekonomi tersendat. Harga beras juga terus menanjak. Kebutuhan pokok itu telah menjadi barang yang tak lagi terbeli oleh sebagian rakyat.
Belum lagi petaka yang menusuk jantung perasaan kita. KM Senopati tenggelam dan hilang bersama ratusan penumpangnya. Lima atau enam kapal lain yang lebih kecil mengalami nasib yang sama. Ada pula kapal feri yang terbakar, hingga dengan tragedi KM Levina I. Kereta api yang terguling dari relnya telah menjadi cerita biasa. Pesawat Adam Air yang hilang cuma dapat ditemukan serpihannya di Selat Makassar. Lalu Garuda, harus pula terbakar bersama sebagian penumpangnya, di depan mata semua orang di Bandaran Adi Sucipto, Yogyakarta.
Apa yang harus diperbuat atas semua keadaan itu? Kita hanya dapat menggelengkan kepala. Begitu banyak persoalan yang harus dipecahkan dalam waktu yang sama. Begitu banyak pula hambatan buat mengatasinya. Lalu dari mana kita harus memulainya?
Kapan pun berkehendak, Allah Yang Mahakuasa selalu mampu menghadirkan petaka. Tapi, sepanjang urusannya adalah urusan dunia, sangat jarang Sang Pemilik Alam Semesta mengesampingkan hukum-hukum-Nya. Sunnatullah-Nya. Setiap petaka selalu dapat dikaitkan dengan takdir. Tapi, takdir juga hampir selalu menjadi cermin yang baik: Manusia atau bangsa macam apa sebenarnya kita?
Satu atau dua bencana mungkin memang ujian dari Tuhan. Namun rangkaian bencana adalah petunjuk nyata bahwa kita bukan bangsa baik. Setidaknya tidak berperilaku baik bagi diri sendiri, bagi lingkungan sekitar, apalagi bagi Tuhan. Betapa sering diri kita bermalas-malasan, memilih jalan pintas, bahkan menengadahkan tangan. Kita malas untuk terus belajar. Apalagi harus berkarya secara nyata. Sangat jarang kita berusaha keras mendisiplinkan diri agar dapat menjadi pribadi lebih baik.
Implikasi dari kualitas diri itu terasa dari kualitas kerja kita. Sebagian besar kita bekerja asal-asalan. Sekadar menuntaskan kewajiban, lalu dapat bayaran. Mutu tak cukup menjadi perhatian. Acap kali kita bahkan lebih buruk dari itu. Kita lebih sibuk untuk kepentingan sendiri meskipun hidup dari dana publik. Posisi dan wewenang tak kita gunakan benar-benar untuk membantu masyarakat atau membangun lingkungan.
Kekuasaan lebih untuk memperkukuh posisi sendiri. Agar lebih berkuasa, lebih kaya, juga lebih punya nama. Dengan perilaku begitu, bagaimana mungkin lingkungan dapat lebih terkelola, dan persoalan rakyat lebih terbantu teratasi? Tanpa terasa, kita lebih mengeksploitasi ketimbang membantu masyarakat dan mengelola lingkungan.
Kita tidak cukup merasa bersalah atas ketidakbertanggungjawaban demikian. Bahkan, di hadapan Tuhan. Sangka kita atribut keagamaan kita cukup untuk menutup ketidakbertanggungjawaban itu. Tuhan kita ajak bernegosiasi agar membenarkan setiap langkah kita sendiri. Sebuah arogansi yang perlahan namun pasti mematikan jiwa kemanusiaan kita sendiri. Maka, tidakkah kita pantas menerima semua musibah ini?
Tidakkah kita mau becermin dari rentetan bencana, untuk berubah dan bangkit menjadi manusia dan bangsa baru. Yakni, manusia dan bangsa yang lebih rendah hati, terus belajar, bekerja keras, menjauhi korupsi, serta bertanggung jawab atas setiap tugas kita.