30 November 2006

Siapa yang Memutuskan?

Seorang sahabat yakin betul bahwa dia bisa mendapatkan yang diinginkannya, bahkan menentukan nasib orang sesuai yang diinginkannya. Dia sangat percaya, tidak akan ada yang bisa menahan keberhasilan apabila telah berusaha keras. Baginya, sukses seseorang seperti menyusun bata demi bata; semakin kuat berusaha maka semakin tinggi bata yang disusun, semakin tinggi pula bangunan yang diinginkan.

Sahabat itu memang selalu mendapatkan yang dia inginkannya. Tapi, tak jarang pula dia gagal. Tentu itu alamiah. Yang menjadi soal adalah, ketika gagal --meski menurutnya telah berusaha keras-- dia menyalahkan orang lain. Dia menganggap kegagalan itu karena dijegal orang yang dengki, yang tak ingin melihatnya sukses.

Saya katakan kepadanya, ''Jika Anda jatuh karena tersandung sebatang kayu, jangan cari siapa yang meletakkan kayu di jalan yang Anda lalui. Boleh jadi Anda tidak hati-hati, tidak melihat kayu itu, dan jatuh.''

Ini cerita sahabat yang lain. Pembantunya, Ahmad, tidak tamat sekolah dasar. Setiap hari, Ahmad mencuci mobilnya dan sesekali memajukan dan memundurkan mobil itu. Setelah bekerja cukup lama, Ahmad berhenti. Sembilan tahun kemudian sahabat itu bertemu lagi dengan Ahmad. Dia sangat kaget, Ahmad telah memiliki dua truk dan toko emas di kampungnya.

Dalam sembilan tahun Ahmad begitu maju pesat, sedangkan sahabat itu merasa seperti jalan di tempat. Bahkan, sahabat tersebut membandingkan pula dengan saudaranya, sarjana manajemen lulusan luar negeri, pintar dan sangat ahli manajemen, namun usahanya selalu gagal. Sebaliknya Ahmad, mungkin tidak paham teori manajemen, tak pernah membaca buku, apalagi mengenal pemikiran Robert T Kiyosaki.

Dua kisah itu menjelaskan bahwa manusia bukanlah penentu. Dua sahabat saya tadi dan juga saudaranya yang ahli manajemen, tentu telah bekerja dengan sangat keras, mencari segala jalan untuk meraih target dan cita-citanya. Selain usaha keras, mungkin pula mereka tak henti-hentinya berdoa. Ahmad --yang awalnya pembantu kini sukses secara materi-- tentu juga mendapatkan hasil atas kerja keras dan mungkin juga terus berdoa.

Alkisah, ada cerita tentang seorang raja yang merasa bisa menentukan kehidupan seseorang. Dia dapat menjadikan seseorang kaya raya, dan seseorang kaya menjadi miskin. Dengan kekuasaannya, dia memfitnah seorang sudagar kaya melakukan penyelewengan. Harta si saudagar dirampas untuk negara sehingga jatuh miskin. Namun dengan sedikit sisa uangnya, saudagar yang juga diusir itu membuat warung di pinggir kampung.

Sebaliknya, Raja memasukkan sebongkah emas ke dalam semangka seorang pedagang miskin secara diam-diam. Dia berharap, emas itu ditemukan si miskin dan kemudian menjualnya. Raja ingin membuktikan, dia bisa menciptakan si miskin menjadi kaya raya. Namun, yang terjadi kemudian, karena tidak memiliki uang untuk makan, si miskin memberikan semangka itu kepada pemilik warung, yang tak lain adalah saudagar tadi.

Begitu terjadi berhari-hari. Raja tetap memasukkan emas ke dalam semangka si miskin, dan si miskin tetap memberikan semangka itu pada si saudagar. Maka, si miskin tetap miskin, si saudagar yang dimiskinkan, kembali menjadi kaya.

Setiap orang memang harus bekerja keras, punya perencanaan untuk mencapai target yang dikehendaki. Tapi, siapa yang dapat menentukan apa yang terjadi hari esok, siapa yang menentukan arah angin bertiup, siapa yang dapat memastikan benih yang ditanam menghasilkan buah? Tidak ada, kecuali Allah SWT. Dialah yang memutuskannya, bukan manusia.

Kehendak Allah SWT berlaku untuk semuanya, tanpa ada pengecualian. Jadi, mengapa kita merasa dapat menentukan segalanya dan menyalahkan orang lain ketika gagal?

Oleh Asro Kamal Rokan (Republika)

10 November 2006

Kesempatan kedua

Hal yang paling ditakuti oleh semua pengusaha adalah jatuh bangkrut. Biasanya semua harta ludes, habis total. Perasaan dalam dada juga campur aduk. Ada perasaan gagal total, depresi, bercampur dengan sejumlah perasaan lainnya, mulai malu hingga tidak berdaya. Tapi tantangan yang paling penting adalah bisa bangkit kembali. Ini yang paling sulit. Berkali-kali saya bertemu dengan pengusaha yang pernah bangkrut, kebanyakan dari mereka tidak berhasil mengatasi depresi dan perasaan takut untuk bangkit kembali. Umumnya mereka jadi menjauhi bisnis. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa jatuh bangkrut mirip dengan keseduh minyak panas. Sehingga mereka takut menyentuh minyak panas.

Jarang di dalam bisnis, kita melihat pengusaha tahan banting, yang bisa bangkit dari kebangkrutan. Saya bertemu seorang pengusaha Indonesia di Philadelphia, belum lama ini. Sebut saja namanya Om Yan. Dia bukan berasal dari keluarga kaya. Di akhir 1980-an, Om Yan mendirikan perusahaan kecil-kecilan. Berkat kerja keras, sekitar tahun 1994, perusahaannya berkembang cepat. Sayang, Om Yan terlalu ambisius. Tahun 1997, ketika terjadi krisis ekonomi, bisnisnya bangkrut total. Akibat terlalu banyak utang, Om Yan patah hati dan ingin mengubah nasib di Amerika. Ia ikut adiknya di Philadelphia. Mulai dari bawah, ia berusaha kerja apa saja.

Menurut cerita Om Yan, ia percaya pada kesempatan kedua. Katanya, setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua. Ini alasan kenapa ia minggat ke Amerika. Di Philadelphia, ia bekerja sebagai sopir pengganti taksi dari kenalan adiknya. Kadang ia juga bekerja serabutan, jadi pelayan restoran dan pembersih kantor.

Lalu tiba-tiba datang kesempatan kedua itu. Ketika sedang menjadi sopir taksi, ia mendapat tamu seorang pengusaha Indonesia. Mereka lalu bersahabat, dan setiap kali pengusaha itu ke Philadelphia, ia selalu memesan taksi Om Yan untuk mengantarnya ke sana kemari. Untunglah, suatu hari bisnis sang pengusaha Indonesia meledak. Dan ia butuh orang yang bisa mewakili dirinya di Philadelphia, karena ia tidak bisa selalu datang ke Philadelphia. Maka, Om Yan beruntung diberi kepercayaan itu.

Dalam tiga tahun, bisnis mereka berkembang. Peran Om Yan makin besar, dan ia mulai bisa bangkit lagi. Ketika bercerita kepada saya, Om Yan sempat terharu. Katanya, hal yang membuat ia sedih, kesempatan keduanya tidak datang dari orang-orang terdekat. Tetapi justru dari orang jauh. Om Yan menasihati saya agar selalu hidup jujur, karena hanya dengan kejujuran itulah kita bisa menyentuh hati orang lain. Kejujuran mirip sebuah kunci yang membuka peluang. Kata Om Yan, "Orang boleh bangkrut dan miskin harta. Tapi jangan sekali-kali kita miskin kejujuran." Saya tersentuh.

Saya jadi teringat pada Slamet, bekas pembantu rumah tangga Mpu Peniti. Konon, Slamet telah mengabdi pada Mpu Peniti lebih dari 10 tahun. Suatu hari, ia permisi ingin balik kampung dan membuka bengkel dengan uang tabungannya. Setahun kemudian, Slamet kembali dan bercerita bahwa bisnis bengkelnya bangkrut. Ia mau kembali bekerja dengan Mpu Peniti. Tetapi oleh Mpu Peniti, Slamet dilarang bekerja. Malah ia dikasih modal untuk bisnis baru.

Slamet lalu membuka warung. Hampir dua tahun kemudian, Slamet kembali lagi dengan cerita yang sama. Ia korban gempa bumi di Yogyakarta. Bisnisnya bangkrut lagi. Duh, nasib Slamet memang apes total. Ketika ia kembali lagi bertemu dengan Mpu Peniti, lagi-lagi Slamet dilarang bekerja. Slamet kembali diberi modal tambahan. Dan Slamet kembali lagi berbisnis.

Melihat itu, mulanya saya protes, karena Slamet akan terus-menerus bergantung pada Mpu Peniti. Ini bukan pelajaran yang baik. Mpu Peniti cuma senyum-senyum. Kata beliau, "Kasihan Slamet, di matanya ada kejujuran dan kegigihan untuk mengubah nasibnya sendiri. Sayang sekali kalau semangat itu mati, dan Slamet menganggap takdirnya memang menjadi pembantu seumur hidup." Saya tersentuh. Barangkali, di saat Lebaran nanti, mari kita periksa dengan teliti orang-orang di sekeliling kita yang bukan saja perlu maaf, melainkan juga kesempatan kedua. Berikanlah kesempatan kedua itu kepada mereka, karena itu bisa menjadi penyulut semangat hidup mereka.

Kafi Kurnia

My First Son

Alhamdulillah....

Menjelang lebaran tahun ini kami diberi karunia dan amanah yg telah lama dinantikan. Pada tanggal 20 Oktober 2006 (27 Ramadhan 1427) putra pertama kami telah lahir, yaitu tepat jam 04.10 pagi, dengan berat 3,4 kg dan panjang 50 cm.

Naufal Hafidz Ramdhani, itulah nama yg kami berikan untuknya. Dengan harapan ia dapat menjadi seorang laki-laki shaleh yg dermawan, dan dapat menjadi penjaga dan pelindung bagi keluarga, bangsa, dan agamanya....