09 August 2006

Kacamata Bocah

Jangan mengecilkan pemikiran bocah! Itulah yang terpetik di Hari Anak Indonesia, 23 Juli lalu. Di dalam diri mereka sering terkandung kejernihan mutiara berpikir. Banyak hal yang mereka tanyakan dengan kritis dan tidak mampu kita jawab. Padahal, kita telah mengklaim sebagai orangtua yang makan asam-garam kehidupan.

Jujur saja, mulut ini sering mengajari mereka agar jangan berbohong, berdusta, menipu, curang, dan kurang ajar. Tuhan ada di mana-mana. Anak pun diam, mungkin memikirkan makna "Tuhan ada di mana-mana". Saat kita ajak salat berjamaah dan wajib ke arah kiblat di barat, misalnya, si anak nyeletuk: "Katanya Tuhan ada di mana-mana."

Kita pun gelagapan. Bisa-bisa kebohongan demi kebohongan meluncur dari mulut, lantaran kita tak mampu menjelaskan dengan pas. Persis elite kini: suka membesar-besarkan atau mengecilkan data agar tampak dramatik. Juga menyembunyikannya. Jika dikejar dengan pertanyaan lebih tajam, umpamanya, buru-buru menangkis: "Ndak tahu, ya. Kami tidak pegang datanya."

Tapi, begitu insan pers menyodorkan fotokopi data ketidakberesan di instansi dia, jawabannya membabi buta. Tersinggung. "Siapa yang membocorkan itu. Lihat saja nanti. Pasti akan kami tindak," katanya. Lho, kenapa tidak berterima kasih bahwa kebusukan itu bisa diungkapkan?

Dulu, pemikiran dia dianggap brilyan. Banyak orang manggut-manggut lantaran terbuai dan salut pada idealisme yang diusung. Kebajikan seakan dipegang erat. Namun, pada akhirnya, kursi jabatan mengerosi jua. Atau, bisa jadi, perubahan sikap itu muncul lantaran setia pada korps.

Kesetiaan itu, konon, sudah jadi barang langka di republik ini. Orang setia itu selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban, dan tidak suka berkhianat. Tapi, kesetiaan kan tidak untuk dibabibutakan? Bisa menimbulkan sikap superior yang berbuntut tak sudi diajak berdialog.

Itu pula, antara lain, yang membuat mulut bereaksi cepat. Orang sering berpikir menghemat uang, tapi tidak menghemat kata-kata. Persis orangtua yang takut wibawanya luntur kala menghadapi anak. Nada suara pun ditinggikan. Padahal, setiap gerakan, isyarat, bentuk, suara, perkataan, suasana, semua mencerminkan ekspresi sifat dan karakter seseorang.

Jadi, kenapa pula nasihat harus disampaikan dengan nada tinggi dan bikin mengkeret hati? Anak-anak sering curhat: "Kritik kan bisa diomongin dengan rileks. Kayak orang ngobrol. Kan, lebih friendly." Ucapan: "Jalanilah hidup tanpa berkeluh kesah," tentu bermakna lain ketimbang: "Kamu tak boleh berkeluh kesah!"

Maka, biar orangtua tidak emosional, banyak anak memilih mengatupkan bibir. Diam merupakan perjuangan melawan diri sendiri untuk mengendalikan rangsangan agar menjadi kekuatan. Konon, Tuhan memberi "diam" agar kata-kata digunakan secara bijak. Dan, Tuhan memberikan "amarah" untuk menunjukkan makna kedamaian. Jika seseorang mampu menyesuaikan diri dengan hidup, maka hidup akan terasa lebih bersahabat.

Adalah sebuah e-mail mengisahkan sebuah keluarga. Rumah mereka ditinggali suami-istri, anak tunggal mereka berusia enam tahun, dan kakeknya. Kakek itu uzur dan pikun. Tangan dia suka gemetaran. Mata rabun. Saban kali makan bersama, sendok dan garpu yang dipegang kakek itu kerap jatuh. Entah berapa piring dan gelas yang pecah. Taplak meja pun kotor ketumpahan air.

"Kita harus melakukan sesuatu," ujar si suami. Maka, suami-istri itu sepakat membuatkan meja makan kecil khusus untuk si kakek. Mangkuk pun terbuat dari kayu. Kali ini, tiada suara piring pecah. Yang tampak adalah air mata yang mengalir dari gurat keriput si kakek di sudut meja makan kecil tersebut. Dan, bocah enam tahun itu cuma bisa memandang dalam diam.

Suatu malam, sebelum tidur, si anak memainkan mainan dari kayu. "Kamu sedang membuat apa," tanya ayahnya. "Aku sedang membuat meja kayu buat Ayah dan Ibu untuk makan saat aku besar nanti. Nanti akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat Kakek biasa makan," ujar si anak. Jawaban itu kontan memukul kedua orangtuanya. Mereka tak mampu berkata-kata lagi, kecuali meneteskan air mata.

Kesadaran mereka muncul oleh sentilan si kecil. Kesadaran adalah kecerdasan murni yang diperkaya dengan gagasan. Melalui kesadaran, kita jatuh atau bangun. Melalui kesadaran, kita menyempit atau meluas. Ekspansi kesadaran adalah terbukanya jiwa. Sejak itu, timbul suatu gagasan untuk memperbaiki kualitas hidup keluarga mereka.

Mereka sadar bahwa alam itu lahirnya adalah tipuan dan "batinnya" adalah pelajaran. Ternyata, naluri dapat membimbing lebih baik daripada guru atau buku. Esoknya, keluarga itu kembali makan di meja makan bersama, tanpa omelan kala piring terjatuh atau taplak meja ternoda tumpahan kuah sayur.

Toleransi itu muncul lantaran kerendahan hati. Sebaliknya, jiwa paling tidak toleran adalah jiwa yang paling tidak bahagia di dunia. Buntutnya, segala sesuatu menyakitkan. Mereka tak nyaman karena cenderung tidak menyukai, menolak, atau curiga pada banyak hal. Kecenderungan inilah yang perlu dikalahkan agar mampu keluar dari kebingungan dan kegelapan.

Agaknya, benar kata orang bijak, manusia itu sesungguhnya gurunya sendiri: di dalam diri mereka terdapat rahasia keberadaannya. "Tiada kebenaran yang dapat dipelajari dari buku, tiada kebenaran yang dapat dijelaskan dengan bahasa, tiada kebenaran yang dapat ditunjuk dengan jari," tulis Hazrat Inayat Khan, seorang sufi dari India.

Pelajaran hidup kali ini memang muncul dari seorang anak. Makanya, jangan pernah mengecilkan "kacamata" bocah!

Widi Yarmanto
widi@gatra.com