28 March 2006

Berani Bercita-cita

Pertengahan 1970-an. Bocah itu masih duduk di kelas dua SD. Dari satu-satunya televisi di kampungnya di Singosari, Malang, ia 'mengenal' anak-anak Barat seusianya. Ia pun membayangkan betapa menyenangkan bermain dengan anak-anak itu. Ia ingin berbincang dengan mereka, menggunakan bahasa mereka. Ia ingin menulis surat pada mereka. Bagaimana caranya? Ia tak tahu. Ia hanya bisa memendam keinginan itu.

Berlalunya tahun mengantarkan anak itu ke bangku SMP, sekolah pertama yang mengenalkannya bahasa Inggris. Tanpa ia sadari, ia begitu antusias dengan pelajaran itu. Bahasa Inggris menjadi pelajaran favoritnya. Apalagi ia mendapat guru yang disebutnya sangat asyik mengajar. Guru yang bukan hanya mencatat di papan tulis serta berbicara di depan kelas, namun sesekali memutarkan kaset lagu-lagu berbahasa Inggris dan meminta murid-muridnya mencatat lirik lagu tersebut. Ia tak pernah melupakan Pak Yono, gurunya itu.

Anak itu segera menjadi terbaik dalam bahasa Inggris di sekolahnya. Ia tidak pernah ikut kursus sekalipun. Tapi, bahasa sama sekali bukan hambatan baginya buat bergiat dan berprestasi di perusahaan multinasional. Tujuh tahun berkarier ia berhasil menjadi direktur dengan jangkauan sembilan negara. Ia bisa duduk sama tinggi dan berinteraksi dengan para eksekutif Barat kawan-kawan kerjanya. Ia bisa lakukan semua itu secara nyaman dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang menjadi keyakinannya. Ia bahkan tetap berjilbab.

Di saat bersama para koleganya, dan menjadi satu-satunya Melayu di tengah kawan-kawan Baratnya, ia acap tersenyum pada diri sendiri. "Waktu kecil saya ingin berteman dengan anak-anak Barat, sekarang terlaksana."

Cerita itu hanyalah salah satu kisah tentang pencapaian manusia yang tertuntun oleh cita-citanya di masa kecil. Ada ribuan bahkan jutaan kisah serupa yang dapat kita gali dari seluruh penjuru dunia. Inti kisah itu adalah sama: obsesi atau cita-cita masa kecil akan mengantarkan pada keberhasilan di masa dewasa.

Kisah semacam itu bertebaran di dunia olahraga. Para penggemar tinju tak akan pernah mendapati Chris John menjadi juara dunia kalau petinju Banjarnegara itu tak terpesona pada ayahnya yang menjadi petinju amatir. Para penggemar sepak bola tak akan pernah mengenal nama Nakata bila ikon sepak bola Jepang itu tak terobsesi dengan tokoh komik Tsubasa. Penggemar catur tak akan mengenal nama Karpov bila seorang Rusia kecil dengan bakat lemah tak nekat menembus hujan-hujan salju buat berlatih lantaran mimpinya menjadi pecatur besar.

Banyak guru, dokter, insinyur, arsitek, seniman, perajin, penulis, pilot, polisi, tentara, diplomat, periset, montir, tukang, akuntan, pemasar, bahkan pebisnis maupun kiai, sukses lantaran cita-citanya di masa kecil. Bagi mereka semua, cita-cita menjadi semacam tonggak yang akan memandu ke mana perlu melangkah. Dengan tonggak pemandu itu langkah menjadi terarah. Selain itu, langkah juga menjadi lebih berenergi lantaran cita-cita memiliki daya dorong luar biasa buat meraih keberhasilan. Bila kita tahu begitu dahsyat peran cita-cita bagi keberhasilan setiap orang, mengapa kita tak menggelorakan cita-cita?
"Gantungkan cita-citamu setinggi langit," begitu nasihat lama mengajari kita. "Berazam-lah (miliki kemauan yang tegas dan jelas), lalu bertawakallah," kata Tuhan yang tersebut dalam Alquran. Tapi, kita cenderung mengabaikannya. Padahal, bercita-cita jelas kunci pertama untuk meraih sukses. Padahal, bercita-cita tak memerlukan modal apa pun. GRATIS. Ketiadaan cita-cita yang membuat kita sulit ke mana-mana. Akibatnya, bangsa ini juga sulit ke mana-mana.

Sekarang saatnya mengakhiri keadaan itu dengan menggelorakan semangat 'berani bercita-cita'. Seluruh bangsa ini harus berani bercita-cita. Semua harus menyeru berani bercita-cita. Saya menyebarkan semangat itu lewat tulisan ini, maupun lewat jaringan Gerakan Masyarakat Sentosa di tingkat akar rumput. Selain itu, tentu setiap orang tua harus membimbing anak-anaknya agar berani bercita-cita; setiap pemimpin harus mengajak rakyatnya berani bercita-cita, setiap politisi mengajak semua pendukungnya berani bercita-cita, setiap ustaz mengajak umatnya berani bercita-cita, juga setiap guru tak berhenti memompa keberanian anak didiknya bercita-cita.

Alangkah dahsyat negeri ini ketika semua guru bertindak demikian hingga setiap anak SD memiliki cita-cita yang jelas sebagaimana murid kelas dua di Singosari, Malang, itu.

Oleh : Zaim Uchrowi (Republika.com)

16 March 2006

The Art of Giving

DALAM beberapa tulisan di majalah kesayangan Anda ini, cukup banyak saya menulis tentang pengalaman berbagi atau bersedekah. Dan, dalam bersedekah itu, ada seninya. Secara iseng, saya menyebut ''The Art of Giving''. Cobalah berbagai cara dalam berbagi, dan bisa jadi Anda akan menemukan kebahagiaan kala melakukan aktivitas tersebut.

Di kampung saya tinggal, tersebutlah seorang bidan bernama Eti. Dia termasuk bidan yang disenangi anak saya. Salah satu penyebabnya, bidan ini selalu menyediakan makanan kecil buat anak-anak yang tengah diajak oleh orangtuanya. Ada cokelat, ada biskuit dengan berbagai rupa, ada permen beraneka aroma dan rasa, dan ada pula kue bolu yang diiris-iris kecil. Semua diletakkan di meja tamu.

Rasanya Bidan Eti memahami psikologi anak. Selain itu, setting ruang periksa diatur sedemikian rupa sehingga tidak tampak menyeramkan. Maka, tidak jarang, jika ada orangtua yang memeriksakan diri, si anak tetap ingin diajak. Anak-anak tersebut --termasuk anak saya, Wirda-- ingin mencicipi makanan yang disediakan Bu Bidan.

Pada satu kesempatan mengantar istri saya untuk pemeriksaan pada Bidan Eti, Wirda langsung bilang, "Ikut dong, Pah!"

Mendengar keinginan itu, istri saya kontan menggoda Wirda, "Wuuh, Wirda pengen ikut karena ingin biskuit Bidan Eti, ya...?" Yang diledek tertawa, karena pas dengan harapan dia. Sesampai di tempat praktek bidan itu, Wirda seperti sudah paham. Dia langsung masuk dan menunggu di ruang tamu. Wirda langsung saja mengambil satu demi satu kue-kue tersebut.

Apa yang dilakukan Bidan Eti termasuk seni berbagi. Hanya dengan uang yang tidak begitu banyak, ia membahagiakan tamunya setiap hari.

Sebetulnya, selain Bidan Eti, di tempat tinggal saya di Kampung Ketapang, Kalideres, yang memperlakukan pasien seperti sahabat atau bahkan keluarga sendiri tidak sedikit. Sebut misalnya Bidan Suli, yang dikenal sangat sabar dan berwajah sejuk. Ada pula Bidan Marfu'ah, yang dikenal teliti dan sangat baik kepada pasien.

Semua bidan yang saya sebutkan itu kadang membebaskan sama sekali beberapa pasien dia dari biaya. Apalagi bila yang datang orang kampung yang tidak berduit. Mereka tidak hanya dibebaskan dari membayar biaya pemeriksaan, malah diberi sangu pulang.

Inilah salah satu bentuk ''The Art of Giving''; seni berbagi. Bila Anda, katakanlah, pemilik warung yang ingin laris, cobalah terapkan ilmu seni berbagi ini. Misalnya, Anda sediakan permen-permen kecil untuk anak-anak yang ikut ibunya berbelanja di warung. Hadiah tersebut akan mengesankan si anak, dan akan selalu meminta ibunya berbelanja di warung itu. Dan, pasti dia ingin ikut. Motif dia sederhana: agar dapat permen!

Jadi, kita semua bisa berbagi, dan kadang-kadang tidak perlu besar. Hanya perlu kreasi agar bisa menyenangkan banyak orang. Misalnya, ada seorang ibu yang suka membagi-bagikan makanan. Sekali waktu, dia memasak bubur kacang hijau. Modalnya tidak seberapa. Hanya dengan uang Rp 20.000 sudah tersajikan sepanci bubur kacang hijau.

Kemudian sepanci bubur itu dibagi-bagi menjadi 100 mangkuk kecil. Lalu dia berkeliling memberikan bubur kacang hijau itu kepada anak para tetangga. Dia bilang, "Kalau saya bagikan kepada orangtuanya, mungkin mereka tersinggung. Kok, membagi hanya semangkuk? Makanya, saya bagi pada anak-anak. Saya panggil mereka, lalu saya beri semangkuk kecil bubur kacang hijau lengkap dengan satu iris roti tawar...."

Dengan rasa puas yang dalam, ibu itu melanjutkan ucapannya, "Wah, saya dapat kebahagiaan dari satu keluarga anak tersebut." Benar juga. Secara materi, yang dikeluarkan tidak seberapa, tapi kepuasan dan kebahagiaan yang diperoleh luar biasa.

Rupanya, konsep serupa juga diterapkan sahabat baru saya, Bu Hajah Dedeh. Dia bidan, dokter, sekaligus pemilik Rumah Sakit Bakti Asih di wilayah Cileduk, Tangerang. Setiap Ahad pagi, saya membuka Pengajian Ahad Pagi di Pondok Pesantren Wisatahati di Kampung Bulak Santri, Kelurahan Pondok Pucung, Karang Tengah, Cileduk, Tangerang.

Nah, Bu Hajah Dedeh ini jamaah aktif saya. Saat saya berkesempatan ke rumah sakitnya, subhanallah, saya juga menemukan ''The Art of Giving''. Salah satu yang dia lakukan adalah mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak tidak mampu dan putus sekolah. Sampai saat ini, sudah hampir 200 orang yang belajar di sekolah bebas biaya tersebut.

Saya yakin, Anda pembaca Gatra pun sudah melakukan hal serupa. Dan, apa yang saya tulis hanya sebagai penambah keyakinan dan melapangkan kebahagiaan Anda. Saya berdoa, semoga Anda makin sering berbagi dan yakin pada janji Allah mengenai manfaat bersedekah.

Kembali pada kisah Bidan Eti tadi, sebagaimana Wirda yang senang ikut ibunya, saya pun jadi senang mengantar istri ke Bidan Eti. Dan, sebagaimana kesenangan dulu, saat bersilaturahim ke bidan-bidan lain di kampung, saya juga memetik "sesuatu" dari mereka. Kali ini, melalui Bidan Eti, saya jadi tahu kue lanting dan jipang, makanan khas asal Kebumen, Jawa Tengah, yang terbuat dari singkong.

Sambil menikmati lanting dan jipang, saya mengobrol dengan suami Bidan Eti. "Ini termasuk sedekah." Sedekah makanan yang bisa membuahkan senyuman anak-anak dan para orangtua. Ketika kami pamit, suami Bidan Eti malah menyuruh Wirda mengambil lanting dan makanan lain untuk dibawa pulang. Wah, alhamdulillah....

Oleh Yusuf Mansur (Gatra.com)

10 March 2006

Bantul

''JANGAN cepat hakimi seseorang!'' kata Presiden SBY di Brunei Darussalam, Selasa pekan lalu, mengomentari pemberitaan ihwal surat Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi yang diduga berbau KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Katebelece itu muncul dalam kaitan renovasi gedung Kedutaan Besar RI di Seoul, Korea Selatan.

SBY pun mengajak masyarakat lebih waspada dan cermat, agar tidak gampang menuduh. Namun, sejalan dengan tekad pemerintah yang bersih, transparan, dan responsif, kasus itu perlu dijelaskan kepada publik. Maklum, ada yang menyebut surat itu dipalsukan.

Tanggapan pun beragam. Dan, seperti yang sudah-sudah, bisa saja muncul kambing hitam. Bisa pula menimbulkan fitnah. Maklum, hidup di zaman materialistis. Segalanya dikalkulasikan secara dagang. Orang menyuap pasti berharap pukulan besar.

Soal fitnah, Bupati Bantul H.M. Idham Samawi yang menerima penghargaan PWI Award 2005, dua pekan lalu --baru disampaikan agar tak mempengaruhi proses pilkada-- juga pernah mengalami. Menjelang pemilihan itu, beredar ribuan fotokopi tuduhan belasan kasus Idham yang korup. Di bawah pintu rumah warga pun diselipi.

Idham tenang karena tak pernah merasa merugikan keuangan negara. Ia hanya membuat kebijakan dengan memangkas kerumitan birokrasi. Apalagi, sebelum mengeluarkan kebijakan itu, ia mengonsultasikan pada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jawab atasannya: ''Oke. Jalankan!''

Akhirnya, becik ketitik olo ketoro, yang benar akan ketahuan sendiri. Ia dinyatakan tak bersalah. Pada pilkada medio 2005, rakyat (73%) mutlak menghendaki dia jadi bupati kedua kali. ''Alhamdulillah,'' kata Idham, yang lahir dan dibesarkan di lingkungan pers.

Idham bertekad mewujudkan manusia Bantul yang cerdas, berakhlak mulia, dan berkepribadian. Kuncinya pendidikan. Lalu dikisahkan tentang gurunya yang ke Malaysia untuk mengajar. Kala guru itu pamit, Idham dan seluruh teman dia di kelas V SD menangis. Air mata Pak Guru itu pun tak terbendung.

Malaysia yang peduli pendidikan merekrut guru Indonesia. Kini, gambaran itu terbalik. ''Kita ke sana untuk jadi batur,'' katanya. Batur adalah pembantu rumah tangga. Nyesek, memang.

Itu yang membuat Idham peduli pada pendidikan. Seluruh SD di Bantul dilengkapi perpustakaan. Belum lama ini, misalnya, ia memborong buku senilai Rp 20 juta untuk mengisi perpustakaan. Dananya? ''Dana taktis saya,'' kata Idham, yang mencanangkan seluruh kepala sekolah berpendidikan S-2.

Keprihatinan lain adalah anak-anak sekarang yang kurang cinta pada budaya bangsa. Simak saja murid-murid yang lebih paham SpongeBob ketimbang Sultan Agung. ''Pasukan Sultan Agung ke Batavia berjalan 91 hari untuk melawan Belanda. Kini, anak-anak naik bus sembilan jam untuk ke Dunia Fantasi Ancol,'' katanya.

Jadi, mereka perlu diarahkan agar cinta seni, budaya, dan Tanah Air. Cinta bisa melahirkan orang yang berjiwa jenius. Sumber daya manusianya pun ditingkatkan. Caranya? Murid-murid SD diberi tiga ekor ayam, dan telurnya dikonsumsi oleh mereka. ''Usia nol sampai 12 tahun itu perlu gizi tambahan,'' kata Idham.

Selain itu, secara pelan-pelan keberadaan sekolah di Bantul (70% SMA dan 30% SMK) komposisinya akan diubah jadi sebaliknya. Sebab, faktanya, lulusan SMA hanya 10% yang ke perguruan tinggi, sisanya menganggur. Ini beban berat. ''Kami harus menciptakan lapangan kerja,'' ujarnya.

Kabupaten seluas 508,85 kilometer persegi dan berpenduduk 790.000 jiwa itu memiliki areal sawah 33%. Maka, sektor pertanian pun dibenahi. Produksi padi harus melebihi produk nasional rata-rata 5 ton per hektare. Caranya? ''Kami kerja sama dengan UGM untuk menciptakan bibit unggul yang cocok bagi Bantul,'' kata Idham.

Berhasil. Produksi padi Bantul meningkat menjadi 7,2-9 ton per hektare. Efek intensifikasi ini adalah, ''Tiap kenaikan 1,5 ton padi itu menyerap satu tenaga kerja,'' katanya.

Produk kerajinan Bantul yang bernilai ekspor 60% lebih dari total ekspor DIY juga dioptimalkan. Agar bisa memangkas mata rantai pengangkutan, truk kontainer boleh memasuki sentra kerajinan di pedesaan. Jika jalan desa jadi rusak? Jawab Idham kalem, ''Ya, dibetulkan.'' Kebijakan ini didukung kapolres dan aparat terkait.

Pokoknya, wong cilik harus sejahtera. Hingga detik ini, Idham tak mengizinkan mal. Alasannya, pusat perbelanjaan itu justru akan memukul pasar tradisional dan toko kecil. Mengapa harus ikut-ikutan bikin mal, ''Sementara di Amerika dan Eropa malah kembali ke pasar tradisional,'' tuturnya.

Idham mengaku pernah diiming-imingi 10% saham kosong jika mal diizinkan di Bantul. Jika nilai investasinya Rp 150 milyar, berapa duit yang masuk kantong? Namun ia tak tergiur. Rakyat bukan sapi perah. Derap irama hidup harus dinikmati dan diresapi, tapi bukan untuk beraji mumpung.

Beberapa waktu lalu, kala harga cabe anjlok mencapai Rp 900-Rp 1.000 per kilogram, Idham langsung mengoperasi pasar. Lebih dari 1,5 ton cabe diborong. Kontan, harga cabe melesat hingga Rp 1.700 per kilo. ''Pemkab Bantul tidak berniat berdagang, tapi menolong petani,'' kata Idham, yang cuma punya tiga baju batik itu.

Demokrasi ditumbuhkan. ''Bohong ada demokrasi jika tanpa komunikasi,'' katanya. Untuk itu, ia tidak alergi kritik. Ia doyan ngumpul, mendengarkan suara dan keluhan rakyat. Emblem bupati acap ditanggalkan agar tak menciptakan jarak dengan wong cilik.

Bahkan, ''tradisi'' naik sepeda atau motor harus menuntun kendaraannya saat memasuki halaman kabupaten ditiadakan. Larangan parkir mobil dengan pantat membelakangi pendopo pun dihapuskan. ''Parkir dengan kepala mobil di atas pun silakan, kalau bisa,'' kata Idham sembari tertawa. Bantul memang lain!

Oleh Widi Yarmanto (Gatra.com)

09 March 2006

Rezeki Kagetan

KENAPA manusia sulit berbagi? Mengapa manusia sulit bersedekah? Salah satu jawabannya, mungkin karena dia berpikir dengan matematika pengurangan. Maksudnya, kalau dia berbagi, maka miliknya bakal berkurang. Atau, barangkali dia selalu melihat kekurangannya. Dalam pengertian dia --diperkuat omongan orang lain-- diri sendiri saja masih kekurangan, bagaimana mau dibagikan pada orang lain?

Maka, banyak orang berpikir (menunggu harta cukup dulu) baru kemudian berjanji untuk berbagi. Faktanya malah tidak pernah kecukupan. Penyebabnya, karena tidak kunjung berbagi. Padahal, kata Allah, kalau mau dicukupkan rezeki, harus bersedia untuk berbagi. Dan, kenyataannya pula, banyak orang yang kehidupannya telah membaik, kekikirannya tetap saja melekat. Akhirnya kehidupan dia berubah lagi menjadi selalu diliputi kekurangan.

Pada sebagian dari Anda yang "merasa" sudah cukup berderma, cobalah perhatikan jumlahnya. Jangan-jangan apa yang Anda dermakan ketika jaya masih sama rupiahnya kala ekonomi belum membaik. Misal, dulu ketika memulai usaha punya satu anak asuh. Kemudian setelah jaya, jumlah anak asuh itu tidak bertambah. Ini pun akan berpengaruh pada kualitas keberkahan.

Tersebutlah seorang sopir yang menemui seorang ustad. Dia mengadukan tentang pendapatannya yang tidak pernah kunjung cukup. Dia kini memiliki lima anak, tapi penghasilannya dari dulu (sejak belum punya anak) hingga sekarang tidak beranjak. Kalaupun ada pertumbuhan, jumlahnya tidak seberapa.

"Gaji Bapak sekarang berapa?" tanya Ustad.
"Rp 800.000," jawab dia datar.
"Rp 800.000 itu sudah besar, lho, Pak." Ustad mengingatkan dengan ucapan, "Sudah bersyukur belum?"
"Sudah, Ustad. Ini juga kalau nggak bersyukur, nggak tahu, dah."

Sang sopir kemudian menceritakan bahwa selama ini dia selalu melihat "ke bawah". Dia bersyukur masih bisa bekerja, sedangkan banyak rekannya yang tidak memiliki pekerjaan lagi. Dia bekerja di ruangan ber-AC, setidaknya selama menyetiri mobil majikan. Sementara kawan-kawan lain tidak sedikit yang menjadi kuli bangunan. Kulit mereka hitam legam terpanggang panas matahari.

"Hati saya jadi adem, Ustad. Setidaknya saya cukup jauh dari mengeluh. Hanya kemari- mariin, saya bingung juga. Sebab akhirnya, biar bagaimana, gaji saya tetap tidak mencukupi. Padahal, anak bertambah besar, Ustad."

Menghadapi keluhan tersebut, Ustad pun menjelaskan bahwa jika bentuk rasa syukur itu tidak diwujudkan dalam sebuah aksi berbagi, maka, maaf, "Belum menghasilkan perubahan." Apa yang sudah dilakukan oleh si sopir dengan menata hati dan bisa mensyukuri hidup sudah tepat. Hasilnya adalah sebuah kedamaian hati. Ketenteraman. "Tapi, kalau mau lebih dahsyat, cobalah Bapak berbagi. Sebagai wujud syukur yang lain."

Wajah sopir itu berubah sedikit. Ustad itu memahami bahwa di balik benak orang yang ada di hadapannya --juga dimiliki orang banyak-- tidak sependapat dengan nasihat yang barusan disampaikan. Bagaimana mungkin dibagikan jika yang ada saja untuk kebutuhan sendiri masih kurang?

"Pak, Bapak kan belum jajal ikhtiar mencukupkan kebutuhan dengan jalan bersedekah? Coba dah di-jajal. Keluarkanlah sedekah. Insya Allah, Allah akan mencukupkan kebutuhan Bapak," ujar Ustad.

Urusan bantu-membantu orang, yang direfleksikan dengan bersedekah, menjadi sebuah keharusan. Artinya, siapa pun yang membutuhkan bantuan Allah, pertolongan Allah, dan kemudahan dari Allah, maka berbagi menjadi sebuah keharusan baginya. "Allah akan membantu hamba-Nya jika hamba-Nya ini mau membantu yang lain. Wallaahu fii 'awnil 'abdi, maa kaanal 'abdu fii 'awni akhiihi."

Sepulang dari kunjungan tersebut, sopir itu pun menyedekahkan uangnya seratus ribu rupiah. Dia mengurangi penghasilannya dengan berderma. Matematika yang terjadi, duit dia semakin kurang. Namun kenyataannya tidak demikian. Pada pekan depannya, sopir ini diajak majikannya ke luar kota untuk sebuah urusan bisnis. Upaya ini membuahkan hasil. Si sopir kebagian rezeki kagetan dari majikan sebesar Rp 1 juta. Kisah ini mirip dengan cerita showroom pinggir jalan pada Gatra edisi minggu lalu.

Akhirnya, sopir ini memetik pelajaran dari bersedekah, sebagaimana kita juga --mudah-mudahan-- bisa menimba kisah tersebut. Bahwa kalau rezeki mau dicukupkan oleh Allah, kita harus mau berbagi. Dengan jalan berbagi, dengan cara bersedekah, inilah yang bakal membuat rezeki kita dicukupkan oleh Allah.

Sementara itu, pada saat yang sama, sebagian dari kita malah menempuh langkah tidak terpuji yang justru menambah hartanya makin berkurang. Misalnya dengan cara korupsi, mencuri, menipu, mengadali, dan mencari rezeki haram yang tidak diridoi Allah.

Tampaknya, sekali lagi, demi melihat kekurangan kita, kesulitan kita, langkah berbagi atau bersedekah menjadi layak untuk lebih diperhatikan. Mudah-mudahan Allah memberi kemudahan bagi setiap kesulitan kita, dan menganugerahkan kecukupan bagi beragam kekurangan yang kita rasakan.

Oleh Yusuf Mansur (Gatra.com)